Jumat, 29 November 2013

Ikhlas dan Sabar

Di sebuah sudut jalan ada seorang pengemis buta yang setiap harinya selalu mengumpat Rasulullah SAW. Ia berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong, tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya!”

Tiada hal lain yang dilakukan si buta setiap hari, kecuali menengadahkan tangan dan mengumpat meneriakkan kata-kata itu berulang kali.

Namun demikian, setiap hari di waktu pagi selalu ada seorang pria yang mendatangi pengemis itu dengan membawakannya makanan.
Dan, tanpa berucap sepatah kata pun, pria itu selalu menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis buta itu.

Suatu ketika, pria yang biasanya datang memberinya makan tidak lagi datang kepadanya. Pengemis buta itu semakin hari semakin lapar dan bertanya-tanya dalam dirinya apa yang terjadi terhadap pria itu. Sampai suatu pagi ada seorang pria yang mendatanginya dan memberinya makan.

Namun, ketika pria itu mulai menyuapinya, si pengemis buta itu marah sambil menghardik, “Siapakah kamu? Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku!” “Aku adalah orang yang biasa,” ujar pria itu. “Tidak mungkin. Engkau bohong!” kata si pengemis buta itu.

Sebab, apabila dia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah,” jawab pengemis buta itu lagi.

Mendengar jawaban si pengemis buta itu, pria tadi tidak dapat menahan air matanya. Dia menangis sambil berkata kepada pengemis itu.

Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Namaku Abu Bakar. Orang mulia yang biasa memberimu makan itu telah meninggal dunia. Dia adalah Muhammad SAW.”

Pengemis buta itu terkejut. Tubuhnya bergetar. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya air mata yang mengalir di pipinya. Deras, seolah tak terbendung, mengenang Manusia Mulia yang selalu dimakinya setiap hari. Subhanallah, sungguh keikhlasan dan kesabaran Rasulullah SAW tiada tara.

Pada umumnya semua orang bisa sabar dan ikhlas saat diuji Allah dengan hal yang menyenangkan, tapi saat diuji dengan berbagai macam kesulitan, seperti kehilangan sesuatu atau musibah, maka kebanyakan merasa begitu sulit.

Kisah Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran Allah SWT bukanlah sebuah perjuangan yang mudah.
Sebaliknya, itu merupakan perjuangan berat yang kemungkinan besar tidak akan mampu ditempuh oleh orang-orang atau bahkan nabi-nabi selain Muhammad.

Beliau harus berhadapan dengan orang-orang yang luar biasa liciknya, kejam, dan penguasa yang zalim. Diterpa berbagai hinaan, cacian, makian, fitnah, sumpah serapah, dan ejekan pun harus diterimanya.

Luar biasanya, semua itu Rasul lalui dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Seolah dia tidak merasakan beban dan perjuangan yang sangat berat itu.

Ikhlas dan sabar merupakan dua kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dijalankan. Maka, apabila keduanya dijalankan bersamaan, Allah pasti akan menggantinya dengan kebaikan yang jauh lebih baik dari apa yang kita inginkan.

Ikhlas menerima semua pemberian dari Allah dan bersabar bila semua pemberian dari-Nya diambil kembali. Karena, sesungguhnya semua pemberian dari-Nya tidaklah kekal.

Marilah kita ikhlas dan sabar dalam segala keadaan, yakinlah bahwa janji Allah pasti benar. Percayalah, ikhlas dan sabar akan membuahkan kebahagian hidup. Wallahu a’lam.
(Oktavia)

Rajin Sedekah, Rezeki Melimpah

Keuntungan sedekah tidak dapat dihitung dengan rumus matematika konvensional. Yusuf Mansur memopulerkan istilah matematika sedekah. Mengacu kepada ajaran Islam bahwa sedekah satu akan dilipatkan menjadi sepuluh, Yusuf Mansur kemudian membuat rumus demikian: sepuluh ribu dikurangi seribu untuk sedekah, hasilnya adalah sembilan belas ribu. Jika dikurangi dua ribu untuk sedekah, hasilnya menjadi dua puluh delapan ribu.

Itulah rumus matematika sedekah, yang merupakan perasan dari sejumlah keterangan dalam Alquran dan hadis. Allah sendiri berulang kali menegaskan bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta. Dalam pandangan awam, harta memang berkurang ketika dipakai untuk sedekah. Tetapi, dalam kaca mata iman tidaklah demikian.

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri, dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kamu sedikit pun tidak akan dirugikan.” [QS Al-Baqarah/2: 272].

Perhatikan, ayat di atas menggarisbawahi “harta yang baik” dan “di jalan Allah”. Karena, sangat boleh jadi orang melakukan sedekah tetapi dengan harta yang tidak baik. Misalnya, membangun masjid dari praktik korupsi, mendirikan pesantren dari hasil pelacuran, membantu panti asuhan dari bisnis narkoba, dan seterusnya. Tidak sedikit pula orang yang mengeluarkan uang dalam jumlah besar hanya untuk menyukseskan perbuatan atau kegiatan yang tidak baik. Lihatlah para konglomerat yang rela merogoh kocek miliaran rupiah untuk menyelenggarakan pagelaran Miss World, kandidat pemimpin yang mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli suara, tersangka hukum yang memberikan gratifikasi triliunan rupiah untuk menyuap hakim, dan seterusnya.

Harta tidak baik yang digunakan di jalan Allah dan harta baik yang digunakan di jalan setan, keduanya tidak bernilai sedekah di mata Allah. Sedekah harus memenuhi dua kriteria, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas, yaitu harta baik yang disalurkan di jalan Allah. Itulah harta yang tidak sia-sia, karena Allah akan memberikan ganti secara berlipat ganda.

Janji Allah tidak pernah dusta. Kewajiban orang beriman adalah meyakininya dengan segenap hati. Rasulullah sendiri pernah menginformasikan, “Tiada sehari pun sekalian hamba memasuki suatu pagi, kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya’. Sementara yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya’.” [HR Bukhari dan Muslim].

Mengelola harta memang bukan perkara mudah. Harta kerap mendatangkan keberuntungan, tetapi, jika salah menggunakan, harta justru menghasilkan kebuntungan. Karena itu, Islam memberikan panduan lengkap seputar cara mengelola harta agar kepemilikan harta berujung keberuntungan, bukan kebuntungan. Salah satunya adalah lewat ajaran sedekah. Harta yang disedekahkan, itulah harta yang sebenarnya, karena akan kekal sampai di alam baka. Yang berada di tangan tidak lain akan menjadi hak ahli waris.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah bertanya, “Siapakah di antara kamu yang lebih menyukai harta ahli warisnya daripada hartanya sendiri?” Serentak para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, tiada seorang pun dari kami, melainkan hartanya adalah lebih dicintainya.” Beliau kemudian bersabda, “Sungguh harta sendiri ialah apa yang telah terdahulu digunakannya, sedangkan harta ahli warisnya adalah segala yang ditinggalkannya (setelah dia mati).” [HR Bukhari dan Muslim].

Hadis di atas, dengan demikian, secara tidak langsung mengingatkan bahwa harta yang ada di tangan kita sebenarnya hanya titipan Allah. Supaya manfaatnya masih dapat dirasakan sampai kita kembali ke akhirat, maka harta itu harus dinafkahkan di jalan kebaikan semasih hidup di dunia. Lebih membahagiakan, balasan Allah bahkan sering tidak harus menunggu di akhirat, tetapi langsung Dia tunaikan ketika kita masih hidup di dunia berupa rezeki yang melimpah.

Rezeki adalah segala pemberian Allah untuk memelihara kehidupan. Dalam hidup, ada dua jenis rezeki yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu Rezeki Kasbi (bersifat usaha) dan Rezeki Wahbi (hadiah). Rezeki Kasbi diperoleh lewat usaha dan kerja. Tetapi Rezeki Wahbi datangnya di luar prediksi manusia, kadang malah tidak memerlukan jerih payah. Karena Rezeki Wahbi merupakan wujud sifat rahim Allah, maka orang yang gemar melakukan sedekah sangat berpeluang mendapatkan rezeki jenis terakhir ini. Indah Allah melukiskan dalam Alquran.

“Permisalan (nafkah yang dikeluarkan) orang-orang yang menafkahkan harta di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah/2: 261].

Sangat banyak ayat Alquran dan hadis Rasulullah yang mengungkap keuntungan sedekah. Setiap kita berpeluang mendapatkan keuntungan itu sepanjang gemar melakukan sedekah disertai keyakinan mantap terhadap kemurahan Allah. Tidak ada ceritanya kemiskinan karena sedekah. Tidak pula orang membuka pintu permintaan, melainkan Allah membuka untuknya pintu kemiskinan.

Sebab itu, jangan lagi berusaha menotal keuntungan sedekah dengan rumus matematika seperti umumnya kita menotal hasil keuntungan perdagangan atau penjualan barang-barang kita. 
(M Husnaini )

Menebus Siksa

Muhammad bin al-Munkadir (130 H) menangis panjang hingga keluarganya khawatir. Mereka bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Ia tidak menjawab dan tetap menangis. Kemudian, keluarganya mengirim utusan kepada Abu Hazim (135 H) untuk menanyakannya.

Abu Hazim datang dan mendapati al-Munkadir sedang menangis. Abu Hazim bertanya kepadanya, “Wahai saudaraku, apa yang menyebabkanmu menangis? Sungguh, engkau telah membuat keluargamu khawatir?”

Muhamamd bin al-Munkadir menjawab, “Sesungguhnya aku telah merenungi sebuah ayat dari Alquran.” Abu Hazim bertanya lagi, “Ayat apakah itu?”
Ia menjawab, “Firman Allah Azza wa Jalla, ‘Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan, tampaklah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.’” (QS az-Zumar: 47).

Abu Hazim menangis juga dan tangisan mereka berdua semakin keras. Keluarga Ibnu al-Munkadir berkata kepada Abu Hazim, “Kami membawamu agar menghentikan tangisannya, tetapi engkau justru malah menambahnya menangis.” Abu Hazim menceritakan kepada mereka apa yang menyebabkan beliau berdua menangis.

Kisah di atas merupakan petikan khotbah Jumat yang disampaikan oleh Syekh Syakir al-Hudzaifi di sebuah masjid di Jeddah, Arab Saudi. Semoga Allah melembutkan hati kami yang keras dan gersang agar dapat menangis saat membaca Alquran dan mengamalkannya.

Setelah saya kembali ke kantor Jeddah Dakwah Center, saya membaca tulisan ahli ilmu tentang ayat di atas. Berikut ini intisarinya. Menyekutukan Allah merupakan kezaliman yang sangat besar.

Ketika seseorang menganggap ada kekuatan lain yang lebih kuat dari Allah, ia akan tunduk dan menjadi budaknya. Ia jatuh ke dalam kesyirikan karena ia taat dan menganggap kekuatan lain itulah yang dapat memberinya manfaat dan menghindarkannya dari segala kerugian.

Ketika Anda menzalimi pihak lain, hakikatnya Anda telah menzalimi diri sendiri. Orang zalim bukanlah orang yang cerdas karena dia lupa bahwa orang yang dizalimi memiliki Allah yang akan membalas, cepat atau lambat, di dunia sebelum di akhirat.

Manusia siap menebus dan membayar ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah agar ia dapat sembuh dari penyakit ginjal, jantung, kanker, dan lainnya.

Di akhirat, manusia ingin menebus dengan dua kali lipat dari semua kekayaan yang ada di dunia agar ia terhindar dari siksa neraka! Ini menunjukkan siksa yang sangat pedih di mana manusia tidak tahan menerimanya. Semoga Allah melindungi kita dari siksa neraka.

Dr Muhammad Ratib an-Nabulsi berkata, “Seorang meyakini suatu ideologi atau keyakinan yang ia bela dan perjuangkan selama 50 tahun, misalnya, kemudian suatu saat ia menyadari bahwa itu ideologi batil, jiwanya akan terguncang. Orang-orang yang zalim akan terguncang pada hari kiamat.”

Ya Allah, jadikan kami sebagai orang-orang yang takut kepada-Mu. Imam Mujahid (101 H) berujar, “Mereka melakukan amalan yang mereka anggap baik, ternyata amal buruk.”

Imam Assuddi (127 H) berkata, “Mereka melakukan amal buruk dan berharap bertobat, kemudian kematian datang terlebih dahulu sebelum bertobat.
Atau, mereka menganggap Allah akan mengampuninya meskipun tidak bertobat dengan amal saleh yang akan menghapus dosanya atau dengan syafaat, ternyata Allah tidak ampuni dosa mereka.” Wallahu a’lam.
(Fariq Gasim Anuz)

Orang Terakhir yang Masuk Surga

Surga nanti adalah tempat kembali yang menyenangkan, diberikan kepada hamba yang beriman, serta tempat berkumpul orang-orang yang banyak beramal saleh. Keluarga juga akan ber-reuni di surga.

“(Yaitu) Surga ‘Adn mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari bapak ibu dan nenek moyangnya, suami-istrinya, serta anak cucu dan keturunannya. Dan para Malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.  (Sambil mengucapkan), “Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu”.  Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu. (QS AR Ra’du 23-24.)

Sementara itu neraka adalah tempat yang buruk.  “Dan orang-orang yang melanggar janji kepada Allah setelah diikrarkan, dan memutuskan apa yang diprerintahkan Allah untuk disambungkan, dan berbuat kerusakan di muka bumi, mereka memperoleh kutukan  dan tempat kediaman yang buruk (Neraka Jahannam)” (QS Ar Ra’du 25).

Seorang ahli zuhud kenamaan Ibnu as Sammak mengunjungi saudaranya yang ingin meminta nasihat kepadanya. “Wahai Ibnu as Sammak, kedudukan nasihat bagi telinga ibarat tabib bagi orang sakit, maka siramilah aku sedikit saja dengan nasehatmu”. 

Dengan suara datar Ibnu as Saammak kemudian berkata, “Tidakkah engkau khawatir jika kesalahan-kesalahanmu tidak akan dihapus dan dosa-dosamu tidak diampuni ? Lalu di hadapanmu ada kegelapan, kengerian, dan kepedihan. Yang pertama kegelapan alam kubur, kemudian kedahsyatan alam mahsyar, kemudian kegetiran alam penantian, kemudian ketegangan alam titian dan timbangan amal, kemudian putuslah harapan, kemudian Yang Maha Raja dan Yang Mahatinggi memberi ketetapan !”

Orang itu bertanya, “Kemudian apa setelah itu ?”

Ibnu as Sammak meneruskan, “Memikul beban amal sendiri dan masuk neraka. Yang lebih menyiksa dari itu adalah celaan dan kutukan Dzat Yang Maha Raja, Yang Mahatinggi!” 


Dalam riwayat diterangkan bahwa di samping tentang keabadian neraka juga ada proses pembersihan yang kemudian membawanya ia ke dalam surga. Allah Yang Maha Penyayang menunjukkan kemurahan kepada hamba-hamba-Nya yang meski berdosa namun tetap  diberi rahmat pada akhirnya.

Dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a katanya,  “Bersabda Rosulullah SAW : Saya mengetahui orang yang terakhir keluar dari neraka dan terakhir pula masuk surga, yaitu seorang laki-laki yang keluar dari api neraka sambil merangkak.

Berkata Allah Ta’ala kepadanya: “ Pergilah engkau masuk surga !”

Orang itu pun segera berjalan. Sesampai  di sana dilihatnya seolah-olah surga telah penuh sesak. Orang itu lalu kembali dan berkata : “Ya Allah ! hamba dapati surga itu telah penuh.”

Berkata Allah Ta’ala kepadanya, “Pergilah masuk !“  Orang itu kembali lagi dan dilihatnya masih dalam keadaan penuh, karena itu ia kembali pula menghadap Allah mencerirakan keadaannya seperti semula.

Demikianlah orang itu pulang pergi berkali-kali antara surga dan hadirat Allah Ta’ala. Akhirnya Allah berkata kepadanya : “Masuklah engkau ke dalam surga ini. Untukmu seluas dunia dan ditambah sepuluh kali seluas dunia !”

Maka berkata orang itu , “Apakah Tuhanku mengejek hamba, padahal Tuhanku adalah Raja ?”

Kata Abdullah, “Saya lihat Rasulullah SAW tertawa sehingga tampak gerahamnya seraya berkata,“Orang itulah yang dikatakan penghuni surga yang terendah derajatnya”. (HR Muslim).

Dalam Hadis Muslim yang lain dari Abu Dzar ra katanya, ”Bersabda Rasulullah SAW : saya mengetahui orang yang terakhir keluar dari api neraka dan terakhir pula masuk surga yaitu seorang laki-laki yang dibawa di hari kiamat lalu dikatakan dihadapannya : ”Perlihatkanlah kepadanya dosa-dosa yang ringan  dan dikatakan kepadanya ‘Pada hari anu dan hari-hari anu engkau telah berbuat ini berbuat itu’ Jawab orang itu ‘Benar !”

Dan tidaklah ia dapat mangkir, sedangkan dia khawatir akan diperlihatkan dosa-dosa yang berat berat. Maka dikatakan kepadanya :”Perbuatanmu yang buruk telah diganti dengan kebajikan”.

Maka berkatalah orang itu, “Ya Allah! hamba telah berbuat ini dan itu yang belum diperlihatkan!” Kata Abu Dzar, “Kulihat Rasulullah SAW tertawa sehingga tampak gerahamnya”. 
Orang terakhir yang masuk surga adalah orang terselamatkan bukan karena amalnya, tapi karena anugerah Allah.  Happy ending  mewarnai akhir episode  dari dinamika kehidupan manusia yang berdosa, bodoh, lugu, dan banyak membantah. 

Tersirami oleh air kesejukkan Allah yang Maha Pemurah. Rasulullah SAW pun tertawa hingga tampak gerahamnya. Gembira melihat umatnya selamat. 
(HM Rizal Fadillah)

Rabu, 06 November 2013

Indahnya Berbagi

Pada suatu hari, Ibnu Mubarak pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sesampainya di Makkah, ia pun langsung menuju Ka’bah untuk bertawaf. Kemudian, ia istirahat di Hijir Ismail untuk sekadar melepaskan lelahnya sehingga tertidur di tempat itu.

Dalam tidurnya, Ibnu Mubarak bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Beliau berkata kepadanya, “Jika engkau telah kembali ke Baghdad, carilah Bahram dan sampaikan salamku kepadanya. Dan katakan bahwa Allah SWT telah rela kepadanya.”

Ibnu Mubarak pun terbangun kaget dan mengucapkan, “Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah.” Dalam hatinya, ia berkata, “Ini mimpi dari setan.”

Kemudian, ia mengambil air wudhu dan kembali bertawaf keliling Ka’bah sampai berulang kali. Karena kelelahan, Ibnu Mubarak kembali tertidur dan kembali bermimpi dengan mimpi yang serupa sampai tiga kali.

Dalam hatinya ia berontak, “Tidak mungkin sosok pendeta seperti Bahram mendapat salam dari Rasulullah SAW serta ridha dari Allah SWT.” Tapi, mimpi itu dirasa sangat nyata oleh Ibnu Mubarak. Karena setan tidak mungkin dapat menjelma menjadi Rasulullah SAW.

Setelah syarat dan rukun haji sudah selesai dan sempurna, Ibnu Mubarak pun buru-buru pulang ke Baghdad dan ingin secepatnya mendatangi daerah yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya.

Sampai pada tempat yang dituju, Ibnu Mubarak berjumpa dengan orang yang sudah lanjut usia, dan bertanya, “Apakah Anda yang bernama pendeta Bahram beragama Majusi?” “Oh ya, saya sendiri,” sahut Bahram.

Kemudian, Ibnu Mubarak langsung bertanya “Bahram, apakah Anda punya amalan yang dianggap baik di sisi Allah?”
Lalu, ia menjawab, “Punya. Aku mempunyai empat anak perempuan dan empat anak laki-laki. Aku kawinkan anak perempuanku dengan anak laki-lakiku.

Ini haram hukumnya,” timpal Ibnu Mubarak. “Selain itu, ada tidak?” “Ada, aku membuat pesta pernikahan besar-besaran dalam pernikahan anak-anakku itu,” jawab Bahram “Ini juga haram dan dilarang oleh agama Islam. Selain itu, ada tidak?” tanya Ibnu Mubarak penasaran.

Oh ada. Aku punya anak perempuan yang sangat cantik. Kucarikan pasangan yang sekufu (setara) dengannya. Ternyata, aku tidak mendapatkan. Akhirnya aku kawini saja anakku itu. Dan, aku membuat resepsi yang lebih besar, ribuan orang datang dalam pestaku itu,” kata Bahram. “Ini juga haram,” ujar Ibnu Mubarak tegas. “Ada tidak selain itu?

Ada. Pada malam pengantin itu, ketika aku hendak berhubungan dengan istriku yang merupakan anakku. Tiba-tiba datanglah seorang perempuan Muslim ke rumahku, ia menyalakan obor dari pelitaku yang ada di depan rumah. Setelah obornya nyala, ia pergi dan aku pun keluar dan memadamkan obor tersebut. Kemudian, ia kembali untuk menyalakan lagi sampai tiga kali. Dan hatiku berbicara, jangan-jangan perempuan itu mata-mata pencuri. Akhirnya, aku keluar membuntutinya dari belakang.

Ketika si perempuan itu masuk ke rumahnya disambut oleh suara anak-anaknya. ‘Ibu bawa apa? Perut kami sudah perih dan keroncongan.” Perempuan itu menangis sambil berkata, ‘Aku malu kepada Allah SWT kalau aku meminta kepada selain-Nya. Apalagi kepada orang Majusi yang nyata-nyata tidak seagama,” cerita Bahram.

Setelah aku mendengar perkataannya, aku langsung pulang dan mengambil satu nampan yang berisi aneka makanan. Lalu, aku pergi menuju rumah perempuan Muslim itu,” kata Bahram.

Ibnu Mubarak berkata, “Ternyata, inilah kebaikan kamu.” Kemudian, ia menyampaikan pesan dan salam Rasullah SAW kepadanya dan menceritakan perihal mimpinya ketika berada di Hijir Ismail.

Setelah mendengar cerita Ibnu Mubarak, Bahram langsung mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian syok, dan mengembuskan napas terakhir. Ibnu Mubarak pun turut serta dalam upacara kematian sampai Bahram dimakamkan.
(Ahmad Rosyidi)

Saat Kita Sujud

Ada orang yang beranggapan ibadah adalah urusan orang tua, bahkan ada yang melakukan shalat pun dengan cepat sekali, sehingga mengabaikan bacaan-bacaan shalat yang seharusnya dibaca dengan baik termasuk ketika bersujud.

Seakan-akan tidak membaca do’a sedikitpun ketika bersujud. Padahal saat itulah kita merasa kecil di hadapan Allah SWT, Yang Maha Besar.

Pada saat sujud kita meletakkan anggota tubuh kita di tempat yang sangat rendah, kita menanggalkan semua atribut keduniaan dan kita meletakkan semua gelar kehormatan. Semuanya kecil di hadapan Allah SWT.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam muslim, Rasulullah SAW bersabda : “Kalian harus memperbanyak sujud kepada Allah SWT, karena ketika kalian bersujud , Allah akan angkat derajat kalian, dan Allah akan hapus  dosa kalian.”

Ada dua hal penting yang patut kita garis bawahi dari hadis di atas. Perintah sujud yang disampaikan  Rasulullah SAW memberikan dua manfaat yang sangat berguna bagi kehidupan kita.

Pertama, dengan banyak bersujud, Allah SWT akan angkat derajat kita. Derajat yang akan Allah berikan kepada kita bisa berupa derajat di dunia maupun di akhirat,

Derajat di dunia bisa berupa kehidupan yang sakinah, jabatan, mendapatkan jodoh yang ideal, keinginan-keinginan lain yang dikabulkan, atau juga bisa berupa kedudukan yang tinggi. Semuanya itu merupakan dampak positif dari banyak bersujud kepada Allah SWT.

Sedangkat derajat di akhirat hanyalah Allah SWT yang maha mengetahui. Tak seorangpun yang mengetahui akan hal itu, karena itu menjadi rahasia Allah SWT semata.

Kedua, dengan bersujud Allah SWT akan menghapus dosa kita. Sebagai manusia tentu banyak perbuatan dosa yang kita lakukan, disengaja atau tidak. Dosa tersebut tidak kita ketahui jumlahnya, kecuali nanti di yaumil hisab (Hari Perhitungan).

Anjuran Rasulullah SAW untuk banyak bersujud agar dosa-dosa kita satu persatu dihapus Allah SWT. Semakin banyak bersujud kepada Allah SWT, semakin banyak pula dosa yang dihapus. Semakin banyak kita melaksanakan shalat, akan semakin banyak sujud yang kita lakukan.

Dalam satu raka’at shalat kita bersujud sebanyak dua kali. Maka, dalam 17 raka’at sehari semalam berarti kita sudah bersujud sebanyak 34 kali. Bagaimana dengan shalat sunat lainnya yang kita lakukan?

Bila kita shalat sunnah qabliyyah dan ba’diyyah yang kita laksanakan di awal dan akhir shalat fardhu sebanyak  16 raka’at, berarti kita sujud sebanyak 32 kali.

Bila jumlah bilangan rakaat shalat fardlu dan shalat sunnah dijumlahkan, berarti sehari semalam kita melakukan sujud kepada Allah SWT sebanyak 66 kali. Itu berarti Allah SWT akan menghapus 66 dosa kita sehari semalam.

Padahal dosa yang kita perbuat sehari semalam, lebih dari 66. Dengan bersujud sebanyak 66 kali sehari semalam, masih belum mampu menghapus dosa-dosa kita yang banyak sekali.

Perbanyaklah sujud kepada Allah SWT, tanpa perlu menghitung-hitungnya. Bersujudlah sebanyak-banyaknya setiap ada kesempatan. Karena memang Allah SWT menciptakan kita tak lain untuk beribadah kepada-Nya.
(Ustaz Ahmad Dzaki, MA)

Rabu, 23 Oktober 2013

Rumahtangga Hasil Perselingkuhan

Oleh: Dimas Cokro Pamungkas - Jombang
Assamualaikum,
lama tidak menulis di blog karena sedikit ada peningkatan aktifitas akhir-ini, kali ini pun saya belum akan menulis sesuatu, tapi saya membagikan email curhatan seseorang tentang masalah cobaan hidup, cobaan rumahtangga yang lumayan rumit dan pasti sangat melelahkan fisik dan mental bagi yang mengalaminya...
Di sini saya tidak membahas solusi dari saya, tapi saya hanya neng "share" permasalahan yang ada, dengan begitu saya mengajak anda semua untuk merenung dan berfikir sejenak terhadap kasus yang terjadi ini dan bagaimana solusi yang baik menurut kita masing-masing

Oh iya, sebagai privasi, saya menyamarkan identitas nama dan alamat si pengirim email, tapi selain sensor nama dan alamat saya tulis apa adanya seperti bunyi email yang masuk.
Monggo dianalisis sareng, kita pikir, hayati dan berusaha merasakan apa yang terjadi... Dan andai cobaan ini kita yang jadi aktor utamanya...

Nb: solusi, tukar pikiran dan masukan dari saya nanti saya inbox langsung ke yang bersangkutan pengirim email.

__________________________________________________________________________________

Assalamu'alaikum Ustadz...

Perkenalkan saya bernama I.
Saya mempunyai seorang sahabat yang sedang sangat galau dan hampir putus asa dengan kehidupan yang dijalaninya.
Sahabat saya bernama M. Dia adalah seorang wanita yang sekarang ini sedang bertaubat dari semua dosa-dosa besar yang telah pernah dia lakukan selama ini.
Sebagai perwakilan dari sahabat saya, saya ingin menceritakan permasalahannya dan menanyakan beberapa hal pada Ustaz. Mohon dirahasiakan ya Ustadz.

Sahabat saya ini, M, adalah seorang muslimah yang baik dan taat pada perintah Allah SWT pada awalnya. M sudah bersuami namun belum dikaruniai anak. Kemudian suatu waktu, M harus terpisah dengan suaminya karena study ke luar negara. Di negara tersebut, M berjumpa dengan seorang lelaki yang sama2 study di fakultas yang sama. Namanya B. B adalah seorang lelaki yang telah beristri. Akhirnya M dan B terlibat affair dan berzina karena jauh dari pasangan masing-masing. 

M dibutakan oleh rayuan B sehingga M meminta cerai dari suaminya karena diiming-imingi akan dinikahi oleh B setelah B menceraikan istrinya. Akhirnya M dan suaminya pun bercerai. Perzinahan antara M dan B terus dilakukan baik ketika M masih berstatus istri orang, M sedang dalam proses gugatan cerai, sampai akhirnya M benar2 menjadi janda. Bertahun-tahun zina itu dilakukan. Sampai akhirnya B menceraikan istrinya. 

Setelah setahun bercerai dari istrinya, B melamar M dan sudah merencanakan pernikahan dua bulan mendatang dari proses lamaran. Setelah proses lamaran, Mina benar2 berniat untuk bertaubat dan memohon ampunan pada Allah atas semua dosa yang dilakukannya. Mina ingin kembali pada jalan Allah SWT dan bersama-sama dengan B ingin merajut pernikahan yang diridhai Allah SWT. Tapi sayang, sebulan sebelum pernikahan, ternyata B terlibat lagi affair dan berzina kembali dengan wanita lain. Mina baru mengetahuinya seminggu sebelum pernikahan. Disaat itu, B meminta maaf atas semua kesilapannya dan ingin tetap menjalani pernikahan ini. M yang sudah dibutakan cinta akhirnya menerima B kembali dan pernikahan itu pun terjadi.

Namun seminggu setelah pernikahan, ternyata B berbohong. B tetap melanjutkan affairnya dengan wanita itu dan menikah siri dengannya tanpa wali yang sah. Karena orang tua wanita itu tidak mau menikahkan anaknya dengan B. Namun mereka tetap nikah dengan meminta bantuan seorang kyai pesantren sebagai wali wanita itu.

Kini M merasa benar2 ditipu oleh B. Janji untuk menikah dan membentuk keluarga yang benar2 bersih dengan niat ridha Allah SWT sepertinya hancur. Ketika M memprotes perlakuan B, hal yang dikatakan B adalah sungguh sangat menyakitkan M. B menikahi M hanya sebuah tanggung jawab dari janji saja. M bukan istri yang diinginkan. M tidak bisa memberikan kepuasan sexual kepadanya karena M jelek secara fisik. M juga tidak bisa memberikan B pekerjaan dan proyek seperti mantan istrinya dulu dan istri siri nya sekarang. B juga mengatakan pada M kalau dia akan kembali pada mantan istrinya dan B minta M jangan mengganggu urusannya. Kalau ternyata M sakit hati, silahkan kembali pada keluarga. Karena Budhi sudah merasa kalau M bukanlah pasangan yang bisa seiring dengannya dalam karir dan pekerjaan. Kalau dalam agama, memang benar kalau M lebih dari mantan istrinya dan istri sirinya. Tapi B tidak perlu agama. B perlu pekerjaan dan uang untuk membiayai kehidupan ini.
M begitu shock atas perkataan dan perlakuan B padanya. B yang sudah menjadi suaminya sangat tega mengatakan hal itu padanya.
Akhirnya M pun pulang pada keluarganya. Menunggu apa yang akan dilakukan B pada dirinya. Tapi M tidak mau bercerita pada keluarganya karena M masih berharap B akan kembali padanya dan meminta maaf atas semua perlakuannya serta akan bertaubat kembali bersama seperti janji awal.

Saya ingin bertanya... sebagai seorang istri yang shalehah, apa yang seharusnya M lakukan, Ustadz?
Ketika M menceritakan permasalahannya pada saya, yang saya sarankan adalah minta cerai dari B karena B sudah terlalu dhalim padanya.
Tapi sepertinya M berat untuk melakukannya sekarang ini. M masih sangat sayang pada B. Walaupun M marah pada B namun M saat ini belum bisa untuk melepaskan B.
M pernah bilang pada saya kalau dia ingin sekali menjadi wanita yg shalehah, istri yang shalehah, dan ibu dari anak-anak yang shalehah. M merasa ini adalah ujian dan hukuman yang Allah berikan padanya karena M dulu telah menyia-nyiakan suami yang sangat mencintai dan menyayanginya hanya karena terbujuk rayu dengan B. Namun kini  telah menjadi suaminya. Haruskah dia juga melepaskan B andaikan B menceraikannya?
Mohon penjelasan Ustadz agar M tidak lagi salah melangkah dari jalan Allah SWT.
M sekarang terus bertaubat atas semua dosa-dosanya... Saya kasihan dengan M. Dia begitu tertekan sekarang ini. Hal yang dilakukannya adalah shalat dan shalat serta berzikir, membaca Al-Qur'an... memohon ampunan pada Allah SWT... M terus menutupi diri. Saya kasihan padanya, Ustadz. M ingin berkonsultasi tapi tidak tau pada siapa yang bisa menjaga rahasia masalahnya. M tidak ingin membongkar aib suaminya karena itu juga menjadi aib baginya. Mohon jawaban dari Ustadz.
Terimakasih.

Rabu, 11 September 2013

Insya Allah Ada Jalan!

Ketika kau tak sanggup melangkah
Hilang arah dalam kesendirian
Tiada mentari bagai malam yang kelam
Tiada tempat untuk berlabuh
Bertahan terus berharap Allah selalu di simu”.
"Insya Allah, Insya Allah, Insya Allah ada jalan
”.
(syair lagu Maher Zain)

Rasa yakin akan dekatnya pertolongan Allah tidaklah mudah. Sering masalah yang ada ditanggapi dengan jiwa yang frustrasi. Tak ada harapan. Seolah-olah dirinya adalah orang yang paling malang dalam kehidupan. Bagai syair lagu Hamdan ATT “Aku merasa orang termiskin di dunia//Yang penuh derita bermandikan air mata”. 

Ketika sakit , dia merasakan seolah olah tak ada orang lain yang lebih menderita selain dirinya. Ketika usaha jatuh dan dililit hutang, ia pun mengeluh betapa pedih kehidupan ini. Ketika berurusan dengan masalah hukum, Allah didakwa telah menganiaya dirinya.  Mengapa yang lain yang melakukan hal yang sama ternyata dapat selamat dari jerat hukum, lalu berteriak “Di mana keadilan?”

Bagi orang yang beriman tentu segala kesulitan ada hikmah dan maknanya. Sakit dapat menjadi penghapus dosa dan penambah pahala. Usaha bangkrut dapat menjadi penguat mental untuk bangkit untuk keberuntungan yang lebih besar. Begitu juga hukuman adalah pintu taubat agar kelak menjadi hamba yang lebih waspada dan banyak beramal.

Kita ingat ucapan dan doa Nabi Ayub saat ditimpa sakit berat yang menyedihkan, harta habis dan dihinakan, ditinggal sendirian oleh teman, kerabat, serta sanak keluarga. Istrinya pun hengkang. Beliau berkata, “Sungguh aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang” (QS AL Anbiyaa 83).

“Wa anta arhamur roohimiin” Engkau yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang !. Ini adalah kalimat yang menghidupkan cahaya lampu di kegelapan malam. Menjadi pengangkat harkat dari jurang yang dalam. Menjadi  penuntun langkah kaki yang terseok-seok dan jatuh bangun. Allah lah pemberi jalan, bukan yang lain. “Adakah yang lain yang mengabulkan permohonan orang yang ditimpa kesulitan ketika berdoa, meghilangkan keburukan, dan menjadikan kalian sebagai khalifah di bumi? Adakah Tuhan selain Allah? Sedikit sekali yang ingat” (QS An Naml 62).

Sesulit apapun yang dirasakan, prasangka kepada Allah harus tetap positif, karena Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Diawali dengan prasangka baik terhadap apa yang menimpa kita, dilanjutkan dengan kesungguhan berikhtiar di jalan-Nya, insya Allah ada jalan.

“Barangsiapa bersungguh-sungguh (berikhtiar)  dijalan Kami, maka Kami akan tunjukan jalan-jalan-Nya dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat baik” (QS Al Ankabuut 69).

Dari Al Fudhail bin Iyadl, syaikhul Haram Al Makki,  ia berkata ada keluarga yang terhimpit kesulitan hidup menjual alat tenun barang berharga terakhir milik mereka. Suaminya sepulang menjual barang seharga satu dirham tersebut bertemu dengan dua orang yang sedang bertengkar hebat.

Ketika ia bertanya “Ada apa?” Orang menyampaikan bahwa keduanya sedang memperebutkan uang satu dirham! Maka ia berikan uang hasil penjualan alat tenunnya. Kini ia tak memiliki apa-apa lagi. 

Sesampai di rumah dikabarkan kepada istrinya peristiwa yang terjadi. Meski kecewa tapi istrinya memahami dan bersabar. Dikumpulkan perkakas rumah tangga sederhana yang masih tersisa, lalu dibawa suaminya untuk dijual  kembali, ternyata kemana-mana tidak laku.

Kemudian ia berpapasan dengan laki-laki yang membawa ikan yang menebar bau busuk. Orang itu berkata kepadanya, “Engkau membawa sesuatu yang tak laku demikian juga dengan aku, maukah kita bertukar barang dagangan?” Lalu iya mengiyakan.

Sesampai d irumah, diminta istrinya untuk bertawakal kepada Allah dan segera memasak. “Istriku, segera masaklah ikan busuk ini, kita hampir tak berdaya karena lapar!”

Namun apa yang terjadi ketika istrinya membelah ikan tersebut, dari perutnya keluar  benda yang ternyata itu adalah mutiara. Dibawanya ke tempat kawannya seorang pedagang perhiasan, ternyata kawannya  tersebut berani membeli mutiara itu dengan harga empat puluh ribu dirham!.
 
Turn to Allah He’s never far away
Put your trust in Him, raise your hands and pray
Insya Allah we’ll find our way.....
We’ll find our way.
Insya Allah, insya Allah ada Jalan!  

(HM Rizal Fadillah)

Disiplin dalam Islam

Di antara ajaran mulia yang sangat ditekankan dalam Islam adalah disiplin. Disiplin merupakan salah satu pintu meraih kesuksesan. Kepakaran dalam bidang ilmu pengetahuan tidak akan memiliki makna signifikan tanpa disertai sikap disiplin.

Sering kita jumpai orang berilmu tinggi tetapi tidak mampu berbuat banyak dengan ilmunya, karena kurang disiplin. Sebaliknya, banyak orang yang tingkat ilmunya biasa-biasa saja tetapi justru mencapai kesuksesan luar biasa, karena sangat disiplin dalam hidupnya.

Tidak ada lembaga pendidikan yang tidak mengajarkan disiplin kepada anak didiknya. Demikian pula organisasi atau institusi apapun, lebih-lebih militer, pasti sangat menekankan disiplin kepada setiap pihak yang terlibat di dalamnya. Semua pasti sepakat, rencana sehebat apapun akan gagal di tengah jalan ketika tidak ditunjang dengan disiplin. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), disiplin adalah ketaatan atau kepatuhan terhadap peraturan. Ketaatan berarti kesediaan hati secara tulus untuk menepati setiap peraturan yang sudah dibuat dan disepakatibersama. Orang hidup memang bukan untuk peraturan, tetapi setiap orang pasti membutuhkan peraturan untuk memudahkan urusan hidupnya. 

Analoginya sederhana. Kita bisa perhatikan pentingnya peraturan itu dalam lampu lalu lintas. Ketaatan setiap pengendara terhadap isyarat lampu lintas jelas membuat kondisi jalan menjadi tertib dan aman. Bayangkan ketika masing-masing pengendara mengabaikan peraturan berupa isyarat lampu lalu lintas itu. Pasti kondisi jalan akan kacau, macet, dan bahkan memicu terjadinya kecelakaan.

Contoh di atas tentu bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luasTegasnya, disiplin sangat ditekankan dalam urusan dunia, dan lebih-lebih urusan akhirat. Tidak heran jika Allah memerintahkan kaum beriman untuk membiasakan disiplin. Perintah itu, antara lain, tersirat dalam Al-Quran surat Al-Jumuah ayat 9-10.

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah untukmengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kalian di muka bumidan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung.” (QS Al-Jumuah: 9-10).

Menurut ayat di atas, keberuntungan akan kita raih dengan disiplin memenuhi panggilan ibadah ketika datang waktunya dan kembali bekerja ketika sudah menunaikan ibadah. Bukan hanya urusan dagang yang harus ditinggalkan ketika sudah tiba waktu shalat. Sebab, menurut para mufasir, ungkapan “Tinggalkanlah jual beli” dalam ayat itu berlaku untuk segala kesibukan selain Allah. Dengan kata lain, ketika azan berkumandang, maka kaum beriman diserukan untuk bergegas memenuhi panggilan Allah itu.

Meskipun demikian, bukan berarti kaum beriman harus terus menerus larut dalam urusan ibadah saja. Ayat di atas juga memerintahkan supaya kaum beriman segera kembali bekerja setelah menunaikan ibadah. Dengan demikian, disiplin harus dilakukan secara seimbang antara urusan akhirat dan urusan dunia. Tidak dibenarkan mementingkan yang satu sambil mengabaikan yang lain. 

Disiplin yang dilakukan secara seimbang antara urusan ibadah dan kerja, akhirat dan dunia, itulah yang akan mengantarkan kaum beriman kepada kesuksesan. Perintah untuk menyeimbangkan antara urusan akhirat dan dunia juga dapat ditemukan dalam Al-Quran surat Al-Qashash ayat 77.

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan jatahmu dari kenikmatan dunia, dan berbuat baiklah kamu kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash: 77).

Kita juga bisa cermati ajaran disiplin dalam perintah shalat jamaah. Kewajiban shalat wajib lima waktu selama sehari semalam sangat dianjurkan untuk dikerjakan secara berjamaah. Menurut keterangan Rasulullah SAW, nilai pahala shalat wajib secara berjamaah adalah dua puluh tujuh derajat dibanding shalat sendirian. Dari sini, dapat dipahami jika sebagian ulama kemudian menghukumi shalat jamaah sebagai sunnah muakkadah, sementara sebagian ulama lain menghukuminya wajib. 

Shalat jamaah jelas membutuhkan disiplin. Karena, umumnya shalat jamaah dikerjakan bersama-sama di masjid atau langgar tidak lama setelah azan berkumandang yang diikuti dengan iqamah. Dengan demikian, jika ingin mengikuti shalat jamaah, maka kita harus segera meninggalkan kesibukan setelah mendengar azan. Shalat jamaah di masjid atau langgar itu dikerjakan tepat waktuKalau kita masih saja ruwet dengan segala tetek bengek dunia, sementara azan sudah berkumandang, dipastikan kita akan ketinggalan, atau malah tidak mendapati shalat jamaah sama sekali.

Belum lagi tradisi itikaf atau berdiam diri ketika menunggu shalat jamaah dimulai. Ditambah tradisi berzikir setelah shalat jamaah selesai. Tanpa disiplin waktu yang bagus, mustahil kita dapat melakukan semua ituMembiasakan disiplin dalam segala urusan secara seimbang itulah yang akan menjadikan hidup kita indah, tertata, dan diliputi berkah.
(M Husnaini)

Perhiasan Terbaik di Dunia adalah Istri Solihah

Dalam riwayat Imam Muslim diceritakan, “Suatu hari anak Abu Thalhah dari (ibu) Ummu Sulaim meninggal dunia. Lalu, Ummu Sulaim berkata kepada keluarganya, ‘Jangan kalian bercerita kepada Abu Thalhah perihal anaknya itu. Biar aku sendiri yang akan menceritakan kepadanya.”

Begitu Abu Thalhah datang dari suatu bepergian, Ummu Sulaim menghidangkan santap makan malam kepadanya. Setelah Abu Thalhah makan dan minum dengan puas, Ummu Sulaim pergi ke kamar untuk bersolek secantik mungkin. Abu Thalhah pun mempergaulinya sebagaimana pasangan suami-istri.

Setelah melihat suaminya merasa kenyang dan terpuaskan, Ummu Sulaim berkata penuh kelembutan, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana menurutmu jika ada satu kaum meminjamkan barangnya kepada suatu keluarga, misalnya, kemudian mereka meminta kembali barang yang dipinjamkan tersebut, apakah keluarga tersebut dibenarkan menolaknya?”

Abu Thalhah menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim berkata, “Kalau begitu tabahkanlah hatimu dengan kematian anakmu.” Mendengar hal itu, karuan saja Abu Thalhah menjadi marah, seraya berkata, “Kamu biarkan aku menikmati pelayananmu sehingga aku terpuaskan dengan layananmu. Setelah itu, baru kamu memberitahukan aku tentang anakku.”

Keesokkan harinya, Abu Thalhah pun pergi menemui Rasulullah SAW dan menceritakan apa yang telah terjadi. Mendengar apa yang diceritakan Abu Thalhah, Rasulullah pun bersabda kepadanya, “Semoga Allah memberi berkah kepadamu berdua di malam yang telah kalian lewati itu.” Kemudian, Ummu Sulaim pun hamil.

Demikianlah, gambaran akan kesalihan dan kecerdasan Ummu Sulaim sebagai istri dari Abu Thalhah. Kesalihan dan kecerdasannya terlihat dari beberapa hal.

Pertama, bagaimana kesabarannya dalam menghadapi kematian anaknya. Kedua, bagaimana Ummu Sulaim lebih mementingkan keridhaan suaminya ketimbang kesedihannya.

Ketiga, bagaimana kelembutannya dalam menyampaikan berita kematian anaknya kepada suaminya. Dan, keempat, bagaimana ia berusaha tampil memesona di depan suaminya untuk melanggengkan jalinan keluarga dan kasih sayang di antara keduanya.

Dengan demikian, istri yang salihah lagi cerdas adalah istri yang selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya,  taat kepada suaminya selama tidak bertentangan dengan perintah Allah SWT, menyenangkan suaminya ketika ia dipandang olehnya, menjaga diri dan harta suaminya bila suaminya pergi, dan berpikir, bertutur, serta bersikap cerdas.

Sebagai seorang Muslimah dan istri, kisah di atas harus menjadi renungan dan keteladanan agar menjadi istri yang salihah lagi cerdas. Sebab, kisah di atas mengandung teladan yang realistis bagi kaum Muslimah dan istri yang salihah tentang kecerdasan yang tinggi dan akalnya yang cemerlang.

Ketika seorang Muslimah mampu menjadi istri salihah lagi cerdas ,akan menjadikan dirinya mendapatkan keridhaan Allah SWT, Rasul-Nya, dan keridhaan dari suaminya. Semua itu akan mengantarkannya meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat serta kelak dimasukkan ke surga.

Untuk itu, teladanilah kisah di atas dan pelajarilah terus bagaimana menjadi istri yang salihah lagi cerdas. Berusahalah untuk mempraktikkannya serta bermohonlah kepada Allah SWT agar diberi kemampuan untuk menjadi istri yang salihah serta memiliki kecerdasan.
(Moch Hisyam)

Jumat, 30 Agustus 2013

Apa Hukum Islam Untuk Pengamen?

Pertanyaan:
Assalamualaikum pak ustadz...
Nama saya Hatta. Saya mau tanya ma pak ustadz,
masalah hukum uang hasil ngamen?
apakah halal atau haram? 
trma ksih pak ustad.
Wassalam.wr.wb
(Hatta, Palembang 081927735xxx


Jawab:
Waalaikumsalam Wr Wb
Mari kita simak hadits berikut,
Qabishah bin Mukhariq al- Hilali Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:
(1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti,
(2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan
(3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.

Mengamen, "menurut saya pribadi" bisa digolongkan dengan meminta, beda kemasan dengan tujuan sama yaitu mendapatkan uang/sesuatu yang bermanfaat untuk penghidupan,
Nah apakah sampean masuk golongan seperti hadits di atas yang memungkinkan untuk dianggap "boleh" meminta? kalau iya silahkan, tapi kalau tidak termasuk 3 poin di atas sebaiknya jangan.
Masukan saya buat sampean: monggo, ngamennya dilanjutkan dulu "selagi" belum ada pekerjaan lain untuk penghidupan, bila sekiranya sudah ada pekerjaan lain monggo ditinggalkan, atau silahkan ngamen untuk mengumpulkan modal buat usaha, setelah terkumpul modal silahkan buka usaha, tidak harus besar khan.
Tidak ada yang salah dengan pengamen, tapi kalau sampean merasa masih kuat fisik untuk bekerja yang lain ikhlaskan rizki dibidang "minta-meminta" buat orang yang lebih layak seperti fakir miskin, anak yatim piatu, orang cacat fisik & mental. Bila kurang jelas mari kita bahas lewat sms, suwun...
Wassalamualaikum Wr Wb




Tanya Jawab Diasuh Oleh:
Dimas Cokro Pamungkas S.pd (Gus Dimas)
Ketua Qurrota A'yun Psychology Consultant
Ketua Pencak Silat NU Pagar Nusa Gudo Jombang (Peguron Sapujagad)

Bila ada pertanyaan silahkan dismskan ke nomor 081559551234 atau ke email dimascokropamungkas@gmail.com, bisa juga inbox di Facebook akun: Gus Dimas (Dimas Cokro Pamungkas) tolong disertakan biodata Anda (minimal nama dan kota tinggal) terimakasih, semoga belajar bersama ini bisa membawa manfaat bagi kita semua, Aamiin...

Selasa, 13 Agustus 2013

Awal Kesuksesan

Syawwal telah terbit, selesai sudah pembinaan Allah
kepada hamba-hamba-Nya. Meskipun tidak dari nol tapi
yang terjadi adalah kelahiran kembali “ka yaumin
waladathu ummuh ” (seperti hari dilahirkan ibunya).
Maksudnya adalah bersih kembali karena ibadah yang
dikerjakan selama shaum Ramadhan telah menjadi
sebab yang berakibat ampunan Allah SWT.
Langkah awal yang mesti dilakukan adalah bersyukur.
Mensyukuri berbagai karunia yang telah Allah SWT
berikan. Bersyukur dalam makna yang kreatif
yakni memfungsikan karunia itu bagi kemanfaatan diri,
keluarga, ummat dan Agama. Karena memang Allah SWT
telah memberikan kepada kita komponen dari potensi
asasi tersebut.
Firman-Nya “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibumu dalam keadaan tak mengetahui sesuatupun, dan
Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati,
agar kamu bersyukur ” (QS An Nahl 78).
Ayat ini menunjukkan adanya tiga komponen penting
yang harus difungsikan dengan maksimal yaitu
pendengaran, penglihatan dan hati. Dengan
pendengaran ( as sam’a ) kita serap informasi
pengetahuan yang dapat diformulasi menjadi ilmu.
Informasi lisan keseharian maupun insidental diseleksi
mana yang sia-sia mana yang berguna, mana yang
dibuang dan mana yang pula bisa dikembangkan.
Dengan penglihatan ( al abshoro ) semua data dibaca dan
diolah menjadi tulisan yang bisa dibaca kembali oleh
jumlah orang yang semakin banyak. Segala informasi
lisan yang didapat dibuktikan sehingga bisa terlihat nyata
sebagai ayat-ayat kebenaran.
Demikianlah gandengannya, karena sesungguhnya orang
yang cacat berat adalah mereka yang
menjalani kehidupan kini dalam keadaan ”tuli” dan
“buta”. Sementara itu dengan hati ( al af-idah ) diyakini
apa yang didengar dan dilihat untuk dijadikan niat
dantekad. Niat dan tekad mana kemudiannya
direalisasikan dalam wujud amal.
Begitulah proses yang terjadi untuk berkreasi. Sebaliknya
jika komponen pendengaran, penglihatan, dan hati itu
tak berfungsi maka yang terjadi adalah stagnasi. Memang
pilihannya adalah berkreasi atau stagnasi, create or
stagnate .
Langkah kreatif yang dimaksud insya allah akan sukses
jika dibarengi: Pertama memulai sesuatu
dengan bismillah yaitu berangkat
dari berharap pada ridlo dan pertolongan Allah serta
mengukur dengan ukuran Allah. Allah sebagai sentrum.
Kedua, niat dan tekad yang kuat untuk berhasil karena
kita tahu amal itu tergantung niat. Niat yang kuat adalah
setengah dari keberhasilan, setengahnya lagi dengan
kesabaran dan ketekunan.
Ketiga,  memiliki ilmu yang mumpuni pada bidangnya
“ wa man aroda huma fa’alaihi bil ‘ilmi ” (dan jika ingin
sukses keduanya –dunia dan akherat—maka itu dengan
ilmu) karena imu adalah causa dari tingginya derajat
dalam pergaulan sesama.
Keempat, mampu membangun relasi karena sering
datang kesempatan untuk maju itu disebakan karena
faktor interaksi sesama. Silaturahmi mendatangkan
rezeki.
Dan kelima, kesiapan untuk mengoreksi diri atau
dikoreksi oleh orang lain. Hal ini tentunya berkaitan
dengan keharusan kita untuk mengenal diri kita sendiri
“ know your self” karena dengan mengenal diri akan
memudahkan untuk dapat mengenal orang lain dan
lingkungannya.
Awal syawwal  siap untuk menyinari perjalanan ke
depan yang lebih berkualitas. Dengan landasan program
yang lebih jelas dan apik tentunya. Kepentingan pribadi
dan keluarga penting untuk mendapat perhatian, namun
kita tak boleh berhenti disana. Langkah mulia  adalah
khidmah untuk memajukan dan mengembangkan Agama.
Melalui jihad dan da’wah.
Shaum telah mengajarkan kita bermental kuat untuk
mampu mengendalikan diri serta pandai memilih dan
memilah nilai yang benar. Lapar di awal bukan untuk
rakus di akhir. Tetapi sederhana (qana’ah ) dalam
berkarakter. Shaum mengubah karakter buruk menjadi
lebih agung. Jangan seperti seekor ular yang puasanya
tak mengubah apa apa.
Ular yang menjijikkan, merusak, dan buas setelah
memangsa lalu berpuasa. Selesai puasa ia berganti kulit.
Karena lapar, “saat berbuka” ia menjadi lebih buas
dan sangat merusak. Lagi pula tetap saja menjijikkan
meski telah berganti kulit.
Banyak orang yang setelah
menyelesaikan puasanya sebulan
penuh tetap saja berperilaku hina, merusak, dan rakus.
Yang berubah hanya kulitnya saja. Baju
baru. Karakternya tak berubah, bahkan lebih buruk. Maka
baginya syawal tidak menjadi awal yang menentukan
kesuksesan.
( HM Rizal Fadillah)

Doa

“ Tuhanmu berfirman: Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang
yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdoa
kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan
hina. ” QS. Al-Mu’min/40: 60)
Secara teologis, ayat tersebut menegaskan bahwa orang
yang malas dan tidak mau berdoa berarti orang yang
sombong, tidak tahu diri, dan cenderung durhaka kepada
Allah SWT.
Karena itu, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“ Barangsiapa yang tidak meminta (berdoa) kepada Allah,
maka Dia akan marah/murka kepada-Nya. ” (HR. Ahmad,
Turmudzi, dan Ibn Majah)
Sesungguhnya doa merupakan jalan spiritual menuju
pertolongan dan kebahagiaan hidup yang hanya dapat
dijalani oleh hamba yang mengenal, mencintai, dan
menghambakan diri kepada Allah SWT.
Doa merupakan sumber kekuatan, harapan, dan
kenikmatan Mukmin, karena hatinya senantiasa tertambat
melalui doa dengan Sang Kekasihnya yang Maha
Penyayang.
Oleh sebab itu, Nabi SAW bersabda: “Orang yang paling
lemah adalah orang yang tidak bisa berdoa; sedangkan
orang yang paling bakhil adalah orang yang pelit
memberi salam (kepada sesame).” (HR. Ibn Hibban).
Secara teologis, doa juga merupakan jalan keluar (solusi)
bagi orang-orang yang dihadapkan kepada berbagai
persoalan dan kebuntuan dalam hidupnya.
Doa menjadi kunci pembuka sekaligus pintu keluar
menuju pencapaian cita-cita dan harapan hidup sang
pendoa.
Esensi doa adalah permohonan hamba kepada Allah SWT
agar diberikan inayah (perhatian), ma’unah
(pertolongan), dan hidayah (bimbingan, petunjuk jalan)
menuju solusi persoalan dan pemenuhan kebutuhan
hidupnya.
Berdoa hanya pada waktu susah dan meninggalkannya
pada saat bahagia merupakan perilaku orang lupa (lupa
diri dan lupa Allah).
“ Dan apabila Kami beri kenikmatan kepada manusia, ia
berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ditimpa
malapetaka, maka ia banyak berdoa. ” (QS Fushshilat/41:
51).
Dalam konteks ini, Nabi SAW bersabda: “ Barangsiapa
yang ingin agar doanya di waktu kesusahan dikabulkan
oleh Allah, maka hendaklah ia memperbanyak doa di
waktu lapang dan bahagia. ” (HR. Turmudzi dan al-Hakim).
Berdoa membelajarkan diri kita untuk selalu berada
dalam oase transendental dengan Sang Maha Pemberi,
sehingga dengan begitu Mukmin selalu memiliki
optimisme tinggi dalam hidupnya.
“ Apabila hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka
ketahuilah bahwa Aku itu Maha Dekat. Aku akan
merespon doa orang yang berdoa kepada-Ku. Karena itu,
hendaklah mereka merespon perintah-Ku dan
mempercayai-Ku, semoga mereka mendapatkan
petunjuk. ” (QS. al-Baqarah/2: 186).
Jadi, karena Allah itu Maha Dekat, maka tidak ada alasan
bagi hamba untuk tidak berdoa demi peningkatan
kualitas hidupnya ke depan.
Momentum Ramadhan untuk mengoptimalkan doa secara
teologis mendapat garansi dari Nabi SAW. “ Ada tiga
manusia yang doa mereka tidak akan ditolak (oleh Allah),
yaitu: doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka, doa
pemimpin yang adil, dan doa orang terzalimi. (HR. At-
Turmudzi)
Di bulan Ramadhan ini, mengoptimalkan doa merupakan
salah satu bukti penghambaan, pengabdian, dan rasa
tawakkal hamba kepada-Nya.
Selain itu, berdoa sesungguhnya tidak sekadar
merupakan permohonan, melainkan juga puji-pujian
hamba atas segala keagungan, kemuliaan, kebesaran,
kemurahan, dan kemahakuasaan-Nya, sehingga pendoa
harus tahu diri: mau menyucikan diri, mengakui segala
kekurangan dan kefakirannya, menjauhi segala
kemaksiatan dan dosa, agar doanya didengar dan
direspon oleh-Nya.
Secara teologis, agar dikabulkan, doa harus dikawal
dengan beramal, berusaha dan berbuat sesuai dengan
apa yang dimohonkan kepada Allah.
Jika misalnya memohon kekayaan dari Allah, maka hamba
harus bekerja keras, halal dan thayyib, untuk meraih
yang dimohonkan itu.
Selain itu, hamba juga tidak boleh berputus asa, bahkan
harus selalu berbaik sangka dengan Allah bahwa doanya
pasti dikabulkan (sesuai dengan kebijaksanaan Allah).
Ketahuilah, “Allah itu Maha Baik, dan tidak menyukai
kecuali yang baik-baik,” kemudian Nabi SAW
menyebutkan mengenai seseorang yang datang dari
perjalanan jauh dengan rambut acak-acakan (kusut) dan
wajah berdebu, mengangkat tangannya ke langit sambil
berdoa: Ya Tuhanku, ya Tuhanku.
Selanjutnya beliau berkata: “Bagaimana mungkin doanya
akan dikabulkan oleh Allah, sedangkan makanannya
haram, minumannya haram, dan pakaiannya haram” (HR.
Muslim). Semoga kita termasuk orang yang pandai dan
sukses berdoa kepada Allah SWT, terutama di bulan suci ini.
( Muhbib Abdul Wahab)

Keutamaan Iktikaf

Setiap ibadah mengandung hikmah, kerahasiaan dan
tujuan, sebab semua ibadah meniscayakan manfaat fisik
dan jiwa, keihlasan hati, perbaikan perilaku, dan manfaat
bagi kehidupan. Jiwa manusia seringkali terpaku pada
fenomena dan lupa pada tujuan.
Inilah jiwa yang lupa dan dilupakan oleh setan akan
tujuan, sehingga sibuk dengan fenomena dan kehilangan
tujuan.
Jiwa macam ini memerlukan penenang guna
membersihkan dan mensucikannya dari kelupaan. Dan
fungsi pembersihan tersebut ada pada i'tikaf, yang
intinya menyucikan isi hati dari sifat-sifat negatif,
mengevaluasinya untuk tidak bersemayam di relung hati,
menghadirkan kemuliaan dan keagungan Tuhan, mengisi
hati dengan berbagai sifat kebajikan.
Inilah reposisi jiwa untuk meletakkan hati pada relnya
yang benar, menyemaikannya dengan aneka kebajikan
dan meletakkan mesin evaluasi yang bekerja sepanjang
hayat agar jiwa dapat bertanya: "Kemana kita menuju,
kepada Tuhan atau penciptaan?" Kalau kepada
penciptaan, maka di alam kubur nanti pertanyaan
malaikat bukan "Siapa engkau?", "dari mana datangmu?",
dan "siapa yang mengenalmu?", melainkan "siapa
Tuhanmu?", "siapa nabimu?", dan "apa agamamu?".
Inilah kisaran hati orang-orang yang beriktikaf yang
mengembalikan posisinya pada awal penciptaan manusia
dan penyadaran bahwa pada hakekatnya semua makhluk
tunduk dan bertasbih kepada-Nya. (QS. Ar-Ruum: 26).
Dunia adalah fenomena yang sering membuat lupa hati
manusia hingga saat sakaratul maut tiba. Tanpa fase
sakaratul maut, dunia mampu melupakan fitrah manusia
yang tunduk dan bertasbih kepada Allah SWT, sama
dengan fitrah alam semesta lainnya.
Membersihkan hati dengan perenungan akal dan hati dan
menyucikan jiwa dengan ilmu, zikir dan ketaatan telah
menjadi tradisi Rasulullah SAW pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan. Dari Aisyah RA bahwasanya
Rasulullah SAW melakukan I'tikaf pada sepuluh hari
Ramadhan hingga beliau wafat. (HR. Bukhari-Muslim).
Bahkan kegiatan serupa yang dikenal dengan Khalwah
(Tahanuts) telah beliau lakukan di gua Hira sebelum
diangkat sebagai Rasul.
Keuntungan beriktikaf sebagaimana dikemukakan Dr.
Khalid Abdul Kareem antara lain:
1.    Iktikaf yang benar akan memberikan perbaikan dan
buah di hati serta menumbuhkan sifat ikhlas dan
penyucian jiwa. Hal tersebut karena inti dari semua
perbuatan terletak di hati dan hati yang baik akan
membuahkan perbuatan yang baik pula. Rasulullah SAW
bersabda: "Ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam
fisik manusia terdapat sekerat daging, jika baik (keratan
itu) maka baiklah fisik secara keseluruhannya, dan jika
buruk (keratan itu) maka buruklah semuanya. Ketahuilah
bahwa (sekerat daging tersebut) adalah hati." (HR.
Bukhari-Muslim).
2.    Mereka yang beriktikaf di akhir Ramadhan adalah
orang-orang yang mencari Lailatul Qadr dan jika
pencarian itu lengkap sepuluh hari terakhir, maka Allah
SWT akan memberikan ampunan atas-dosa-dosanya.
3.    Orang-orang yang beriktikaf adalah pribadi-pribadi
yang menghidupkan sunah Rasul SAW dan barang siapa
menghidupkan sunahnya maka mereka menjadi pribadi
yang dicintai Allah dan Rasul-Nya yang balasannya adalah
ampunan dan surga. Allah SWT berfirman: "Katakan
(Muhammad)!, Jika kalian cinta kepada Allah maka
ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan
mengampuni dosa-dosa kalian." (QS. Ali Imrah: 31).
4.    Dengan beri'tikaf, seseorang telah memelihara diri
dari kelupaan kepada Allah; menjaga diri dari perbuatan
haram; menjauhkan panca indera dari perbuatan dosa
dan maksiyat. Semua itu merupakan hakekat peribadatan
dan ketundukan kepada Allah SWT.
Semoga Allah SWT menjadikan Iktikaf kita di akhir
Ramadhan sebagai Iktikaf yang benar sesuai dengan
tuntunan Rasulullah SAW sehingga membuahkan
perubahan kebaikan secara pribadi maupun sosial.
Wallahu A'lam.
( Dr Muhammad Hariyadi MA)

Kebahagiaan di Akhir Ramadan

Dalam Hadits Qudsi Riwayat Bukhari, Muslim, dan Ahmad
Allah SWT menyatakan antara lain “... Orang yang
berpuasa akan mendapat dua kegembiraan. Apabila
berbuka ia merasa gembira (idza afthara fariha). Dan
apabila bertemu dengan Allah, ia gembira pula karena
puasanya (wa idza laqiya rabbahu fariha bishoumihi) ”.
Ketika seseorang berbuka, maka yang ada adalah
kenikmatan yang dirasakan saat itu karena ia
telah melepaskan dahaga atau enaknya hidangan yang
dimakannya. Haus dan beratnya hal hal yang harus dijaga
seharian selama berpuasa seolah tak berarti dan telah
hilang semua. Begitu juga setelah ditunaikan ibadah
selama sebulan penuh, dengan tibanya hari raya iedul
fitri, maka segala ‘penderitaan’ selama sebulan seolah
tak pernah ada. Demikianlah sesungguhnya yang
dirasakan adalah saat itu, saat yang terakhir.
Dalam Hadits Qudsi shahih yang lain cukup menarik
tergambarkan bahwa Allah mengingatkan kita untuk
mewaspadai saat saat akhir seperti di atas. Anas Bin
Malik menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda
“ Sebagian orang orang penyembah kenikmatan dunia,
yang akan menjadi penghuni neraka, dipanggil pada hari
Kiamat. Ia dibenamkan satu kali benaman ke dalam
neraka. Lalu ditanya kepadanya ‘Hai manusia, apakah
engkau merasakan ada kebaikan barang sedikitpun ?
Apakah masih terasa  nikmat  yang engkau rasakan dulu
itu ? Dia menjawab ‘Tidak ada wahai Tuhanku  ! Aku sama
sekali tidak merasakan ada kebaikan yang pernah
kurasakan dan terasa tidak ada kenikmatan yang pernah
aku rasakan’.  Lalu dipanggilah orang yang paling
sengsara di dunia namun calon ahli surga. Dia
dibenamkan ke dalam surga satu kali. Kemudian dia
ditanya ‘Wahai manusia ! Apakah engkau merasakan
kesengsaraan ? Pernahkah engkau merasakan kesusahan
luar biasa ? Dia menjawab ‘Tidak pernah wahai Tuhan!
Sama sekali aku tidak pernah merasa sengsara dan tidak
merasakan kesusahan” (HQR Muslim, Ahmad, dan Ibnu
Hiban).
Dari Hadits ini jelaslah bahwa senang dan susah itu
dirasakan pada akhirnya. Ini tentu menjadi alasan
bahwa  kita sebagai makhluk ciptaan Allah patut untuk
berkeyakinan pada apa apa yang dijanjikan Allah tentang
hidup di kemudian hari. Tidak terbuai oleh fatamorgana
kehidupan sekarang dan tidak pula berputus asa
dengan apa yang menimpa saat ini.
Teringat kita bagaimana pelajaran dari perjalanan Nabi
Musa dengan Nabi khidr. Betapatidak mengertinya Nabi
Musa dengan peristiwa yang bermuara makna pada
akhirnya. Baik ketika perahu dibocorkan, ketika anak
dibunuh, maupun ketika rumah buruk dibangun. Semua
direspons negatif, penuh pertanyaan dan dikritisi. Bagi
Musa pejuang kebenaran dankeadilan sungguh tidak
bisa diterima perbuatan “sang Guru” yang membocorkan
perahu milik nelayan miskin dan membunuh anak yang
tak berdosa.
Ini adalah suatu bentuk kezaliman.
Namun setelah Nabi Khidr menjelaskan akhirnya
mengerti juga Nabi Musa  akan nilai tinggi
pelajaran kehidupan itu. Membocorkan perahu adalah
tindakan penyelamatan agar perahu “jelek” tersebut tak
terampas oleh penguasa otoriter. Membunuh anak adalah
perbuatan untuk menyelamatkan sang anak agar tak kafir
saat dewasa dan tak mengkafirkan orang tuanya. Begitu
juga rumah “reyod” di lokasi yang jauh dari sana
sini dibangun untuk kebaikan anak yatim yang kelak akan
menemukan harta di rumah itu. Seluruhnya adalah untuk
dirasakan bahagia di akhir.
Shaum Ramadhan kita akan berakhir.
Optimalisasi ibadah saat ini adalah pilihan cerdas. Bulan
yang penuh berkah dan bertaburan bonus dari  Allah ini
sebentar lagi akan meninggalkan kita. Alangkah sayang
jika kalimat perpisahannya adalah kesia-siaan, bukan
khazanah makna. Begitu indah perintah ibadah dari Allah
ini. Kesehatan, ketabahan, saling menyayangi, hidup
berbagi, serta kemudahan rezeki sangat terasa
mendatangi. Baru kita mengerti mengapa para sahabat
menjadikan Ramadhan sebagai terminal.
Enam bulan sebelum tiba, mereka menanti-
nanti datangnya Ramadhan. Enam bulan setelah lewat
mereka masih terikat dengan Ramadhan, khawatir amal
shaum tak diterima dan berharap hasil Ramadhan
menjadi modal untuk menjangkau kasih sayang dan
ampunan Allah SWT sampai Ramadhan berikutnya.
Bahagia di akhir merupakan tantangan sekaligus harapan.
Mereka yang memandang ada kebahagiaan di akhir, akan
memancarkan cahaya optimistik di wajahnya. Melangkah
dengan pasti menebar kebajikan ke kanan dan ke
kiri. Sebenarnya kita tidak perlu bersusah payah
menarik-narik tangan Ilahi, karena Allah lah yang akan
menarik badan dan jiwa sang hamba ke haribaan-Nya
yang abadi.
( HM Rizal Fadillah)

Iktikaf

Salah satu menu spiritual dari paket rahmat Ramadhan
yang relatif kurang banyak mendapat perhatian dan
pengamalan dari umat Islam adalah iktikaf. Padahal
ibadah ini sungguh memberi kenikmatan dan kepuasan
spiritual tersendiri.
Menurut riwayat Ibn Umar, Anas, dan Aisyah RA bahwa
Nabi SAW selalu melakukan iktikaf pada sepuluh hari
terakhir di bulan Ramadhan sejak datang di kota Madinah
hingga beliau wafat. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Secara bahasa iktikaf berarti: berdiam diri, menetapi dan
menekuni sesuatu, yang baik maupun yang buruk.
Pemaknaan ini didasarkan pada ayat: “ Ingatlah ketika
Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: patung-
patung apakah ini yang kamu tekun beribadah
kepadanya ?” (QS. al-Anbiya’/21: 52) “… Dan janganlah
kamu campuri mereka (istri) sedang kamu beri’tikaf di
dalam masjid…” (QS. al-Baqarah/2: 187).
Pada ayat pertama (al-Anbiya’: 52), iktikaf berkonotasi
tekun menyembah berhala (syirik), sedangkan pada ayat
kedua (al-Baqarah: 187) menunjukkan tekun beribadah di
masjid (tauhid).
Esensi iktikaf adalah diam diri, menahan diri (dalam
beribadah), tekun, penuh konsentrasi dan konsistensi (al-
dawam alaih ) dalam ketaatan dan kedekatan spiritual
dengan Allah melalui tazkiyatun nafs di masjid.
Tujuan utama iktikaf adalah mendekatkan diri kepada
Allah SWT dengan menyucikan hati dan pikiran, serta
selalu merasa diawasi oleh Allah.
Iktikaf melatih berkonsentrasi, membiasakan tekun
beribadah semata-mata karena mengharap ridha-Nya;
dan membelajarkan diri untuk khusyu’ , penuh ketaatan,
konsentrasi, dan konsistensi dalam beribadah di rumah-
Nya, bukan di rumah sendiri.
Iktikaf memberi ruang kesadaran spiritual bagi kita untuk
kembali menata dan meluruskan mindset kita bahwa
kesibukan duniawi itu tidak pernah ada habisnya dan
tidak abadi.
Kesibukan duniawi tidak boleh melengahkan dan
melupakan Muslim dari mengingat Allah (dzikrullah ) di
rumah-Nya yang suci dan di bulan-Nya yang suci.
Yang abadi dan menjadi bekal kehidupan ukhrawi adalah
spiritualisasi diri dengan tekun dan khusyu’ beribadah
kepada-Nya, di saat kebayakan orang ramai sibuk dalam
urusan duniawi.
Iktikaf merupakan cerminan dari hamba Allah yang taat,
patuh, tunduk, dan khusyu’ dalam beribadah kepada-Nya.
Iktikaf menyadarkan kita pentingnya menyisakan ruang
dan waktu dalam diri kita untuk berada dalam masjid.
Sehingga spiritualisasi diri melalui iktikaf ini dapat
melejitkan kecerdasan spiritual dan moral yang tangguh.
Buahnya adalah perilaku moral yang luhur, berupa
keteladanan terhadap sifat-sifat dan nama-nama terbaik
Allah (al-asma’ al-husna).
Ketekunan duniawi tidak ada artinya jika tidak diimbangi
dengan ketekunan ukhrawi. Iktikaf adalah sarana
pendekatan diri kepada Allah yang paling tulus.
Iktikaf mengharuskan kita melepaskan diri dari keasyikan
duniawi, menuju kesucian hati dan kedekatan ruhani
kepada sang Maha Pencipta dan Pemilik kehidupan ini
melalui transit beberapa saat di rumah-Nya.
Dengan iktikaf , kecerdasan spiritual kita menjadi lebih
meningkat dan menguat, sehingga kita tidak mudah
tergoda oleh hiruk-pikuk materialism dan hedonism
keduniawiaan yang semu dan sesaat.
Sebagai aktualisasi dari sunah Nabi SAW, alangkah
meruginya jika momentum Ramadhan ini tidak diisi
dengan iktikaf .
Menikmati iktikaf sejatinya harus menjadi komitmen
setiap Muslim yang merindukan surga. Sebab, tradisi
baik (sunah) Nabi SAW ini diamalkan dengan tekun dan
khusyu’, niscaya kebugaran spiritual kita menjadi lebih
meningkat.
Sehingga hati dan pikiran kita semakin dapat dengan
mudah menangkap sinyal-sinyal Ilahi dalam menjalani
kehidupan di masa depan.
Sungguh indah dan nikmat, jika di saat masjid-masjid
mulai lengang ditinggalkan sebagian pelanggan
jama’ahnya , kita bisa melakukan transformasi hati dan
pikiran duniawi ke dalam kesucian hati dan pikiran di
rumah-Nya.
Yang sangat dibutuhkan untuk beriktikaf adalah
komitmen hati dan disiplin beribadah dengan tulus ikhlas
di rumah-Nya, bukan di rumah masing-masing.
‘Aisyah RA meriwayatkan bahwa  “ Jika memasuki sepuluh
hari terakhir bulan Ramadhan, maka Rasulullah SAW
selalu mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan
malam-malamnya, dan membangunkan
keluarganya .” (HR. Bukhari-Muslim).
( Muhbib Abdul Wahab)

Bersujud

Ada orang yang beranggapan ibadah adalah urusan
orang-orang tua, bahkan ada yang shalat cepat sekali
sehingga mengabaikan bacaan-bacaan shalat yang
seharusnya dibaca dengan baik termasuk ketika bersujud.
Seakan-akan tidak membaca do’a sedikitpun ketika
bersujud. Padahal saat itulah kita merasa kecil di
hadapan Allah SWT. Saat bersujud, kita meletakkan
anggota tubuh di tempat yang paling rendah.
Kita tanggalkan semua atribut keduniaan, kita copot gelar
kebangsawanan, kita letakkan semua gelar kehormatan.
Semuanya kecil ketika bersujud di hadapan Allah SWT.
Saat itulah kita banyak membaca do’a.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim,
Rasulullah SAW bersabda, “Kalian harus memperbanyak
sujud kepada Allah SWT. Ketika kalian bersujud, Allah
akan angkat derajat kalian, dan Allah akan menghapus
satu dosa kalian .”
Ada dua hal penting yang patut kita garisbawahi dari
hadis di atas. Perintah sujud yang disampaikan
Rasulullah SAW memberikan dua manfaat yang sangat
berguna bagi kehidupan kita.
Pertama, dengan banyak bersujud, Allah SWt akan angkat
derajat kita. Derajat yang akan Allah berikan kepada kita
bisa berupa derajat di dunia maupun di akhirat.
Di dunia bisa berupa kehidupan sakinah, berupa jabatan,
bisa berupa mendapatkan jodoh yang ideal, bisa juga
keinginan-keinginan lain yang dikabulkan. Semuanya itu
merupakan dampak positif dari banyak bersujud kepada
Allah SWT.
Sedangkat derajat di akhirat hanyalah Allah SWT yang
Maha Mengetahui. Tidak seorangpun manusia yang
mengetahui akan hal itu, karena itu menjadi rahasia Allah
SWT.
Kedua, dengan bersujud Allah SWT akan menghapus satu
dosa. Sebagai manusia tentu saja banyak perbuatan dosa
yang kita lakukan, disengaja ataupun tidak. Perbuatan
dosa tersebut tidak kita ketahui jumlahnya, kecuali nanti
di yaumil hisab (Hari perhitungan).
Anjuran Rasulullah SAW banyak bersujud agar dosa kita
satu persatu dihapus. Semakin banyak kita bersujud,
semakin banyak dosa kita yang dihapus. Semakin banyak
kita melaksanakan shalat tentu semakin banyak sujud
yang kita lakukan.
Bila dalam satu raka’at shalat kita bersujud sebanyak dua
kali, dalam 17 raka’at sehari semalam kita sudah
bersujud sebanyak 34 kali. Bagaimana dengan shalat
sunat lainnya yang kita lakukan?
Ambil contoh, shalat taraweh yang kita laksanakan di
bulan Ramadhan. Ada yang melaksanakan 11 raka’at, ada
juga yang melaksanakan 23 raka’at. Bisa kita hitung 23
raka’at berarti 46 kali sujud.
Bila dijumlahkan shalat wajib dan shalat taraweh berarti
kita sehari-semalam, kita bersujud kepada Allah 34 + 46 =
80 kali sujud. Itu berarti kalau Allah SWT menjanjikan
satu kali sujud menghapus satu dosa, sehari semalam di
bulan Ramadhan terhapus 80 dosa kita.
Padahal dosa yang kita perbuat dalam sehari banyak
sekali lebih dari 80 perbuatan dosa. Rasanya dengan
bersujud sebanyak 80 kali sehari masih belum dapat
menghapus dosa-dosa kita.
Karena itu, bersujudlah kepada Allah SWT sebanyak-
banyaknya. Tidak perlu dihitung-hitung. Setiap kali ada
waktu luang bersujudlah, karena memang Allah
menciptakan kita manusia tidak lain untuk beribadah
kepadaNya. Wallahua'lam.
(Ust Ach Dzaky)

Beriman Lewat Harta

Di dalam Alquran Allah SWT berfirman, “Dan kelak akan
dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka, yaitu
orang yang mengeluarkan hartanya (di jalan Allah) untuk
menyucikan jiwanya. Dan ia tidak mengharapkan balasan
untuk kebaikannya, selain menghendaki wajah Tuhannya
yang Mahatinggi. Dan pasti ia kelak mendapat
keridhaan. ” (QS al-Lail [92]: 17-21).
Ayat tersebut menjelaskan tentang sikap Abu Bakar yang
sangat spektakuler dalam memanivestasikan keimanan
dan ketakwaannya melalui harta yang dimilikinya.
Sebagai seorang sahabat Nabi SAW yang dikaruniai
nikmat harta, dia tidak pernah segan untuk mengeluarkan
harta demi kejayaan umat Islam.
Ibn Abi Hatim meriwayatkan dari Urwah bahwa Abu
Bakar memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa
oleh pemiliknya karena beriman kepada Allah.
Al-Hakim meriwayatkan dari Amir ibnu Abdullah ibn al-
Zubar dari bapaknya bahwa Abu Quhafah, ayah Abu
Bakar, berkata kepada Abu Bakar, “Aku lihat kau
memerdekakan budak-budak yang lemah. Anakku,
sekiranya kau memerdekakan budak-budak yang kuat,
pasti mereka akan membela dan mempertahankanmu.”
Mendengar ucapan ayahnya, Abu Bakar berkata, “Ayah,
aku hanya mengharapkan apa yang ada di sisi Allah.”
Maka, turunlah ayat di atas yang membenarkan sikap Abu
Bakar.
Dari kisah Abu Bakar tersebut, Ibnu Katsir dalam
tafsirnya menjelaskan bahwa orang yang akan dijauhkan
Allah dari neraka hanyalah orang yang benar-benar
bertakwa dan orang yang paling baik dalam menjaga diri.
Terutama dalam masalah membelanjakan harta
kekayaannya yang ditujukan hanya demi mengharap
balasan dari Allah SWT semata.
Apabila hal tersebut dimiliki oleh seorang Muslim, pasti
kelak Allah akan memberikan keridaan-Nya kepada
seorang hamba yang benar-benar menyifati dirinya
dengan sifat-sifat mulia, seperti yang telah dicontohkan
oleh Abu Bakar.
Kemudian, Ibnu Katsir meriwayatkan kisah yang berbeda
tentang Abu Bakar. Jadi, suatu ketika Rasulullah
bersabda, “Barang siapa menginfakkan sepasang harta di
jalan Allah, maka malaikat penjaga surga akan
memanggilnya, 'Wahai hamba Allah, yang demikian itu
sangatlah baik.'
Kemudian Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa
yang dipanggil darinya dalam keadaan darurat, apakah
akan dipanggil seseorang darinya secara keseluruhan?”
Beliau menjawab, “Ya, dan aku berharap engkau termasuk
salah seorang di antara mereka. ” (HR Bukhari Muslim).
Dengan demikian, dapat dipahami secara terang
benderang bahwa setiap hamba Allah yang diberi karunia
harta sangat mungkin untuk bisa masuk surga dan
selamat dari siksa neraka. Asalkan, harta yang dimilikinya
benar-benar dimanfaatkan sepenuhnya di jalan Allah.
Sebab, harta kekayaan pada hakikatnya adalah titipan
Allah yang harus dibelanjakan untuk kepentingan Islam
dan umat Islam.
Bukan untuk kenikmatan pribadi semata, apalagi sekadar
untuk pamer atau menjadikannya sebagai alat guna
meraih popularitas dan kedudukan. Untuk itu, di bulan
Ramadhan ini, mari kita jadikan harta yang kita miliki
sebagai media untuk meraih ketakwaan.
(Imam Nawawi)