Jumat, 29 November 2013

Ikhlas dan Sabar

Di sebuah sudut jalan ada seorang pengemis buta yang setiap harinya selalu mengumpat Rasulullah SAW. Ia berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, “Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong, tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya!”

Tiada hal lain yang dilakukan si buta setiap hari, kecuali menengadahkan tangan dan mengumpat meneriakkan kata-kata itu berulang kali.

Namun demikian, setiap hari di waktu pagi selalu ada seorang pria yang mendatangi pengemis itu dengan membawakannya makanan.
Dan, tanpa berucap sepatah kata pun, pria itu selalu menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis buta itu.

Suatu ketika, pria yang biasanya datang memberinya makan tidak lagi datang kepadanya. Pengemis buta itu semakin hari semakin lapar dan bertanya-tanya dalam dirinya apa yang terjadi terhadap pria itu. Sampai suatu pagi ada seorang pria yang mendatanginya dan memberinya makan.

Namun, ketika pria itu mulai menyuapinya, si pengemis buta itu marah sambil menghardik, “Siapakah kamu? Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku!” “Aku adalah orang yang biasa,” ujar pria itu. “Tidak mungkin. Engkau bohong!” kata si pengemis buta itu.

Sebab, apabila dia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah,” jawab pengemis buta itu lagi.

Mendengar jawaban si pengemis buta itu, pria tadi tidak dapat menahan air matanya. Dia menangis sambil berkata kepada pengemis itu.

Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Namaku Abu Bakar. Orang mulia yang biasa memberimu makan itu telah meninggal dunia. Dia adalah Muhammad SAW.”

Pengemis buta itu terkejut. Tubuhnya bergetar. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Hanya air mata yang mengalir di pipinya. Deras, seolah tak terbendung, mengenang Manusia Mulia yang selalu dimakinya setiap hari. Subhanallah, sungguh keikhlasan dan kesabaran Rasulullah SAW tiada tara.

Pada umumnya semua orang bisa sabar dan ikhlas saat diuji Allah dengan hal yang menyenangkan, tapi saat diuji dengan berbagai macam kesulitan, seperti kehilangan sesuatu atau musibah, maka kebanyakan merasa begitu sulit.

Kisah Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran Allah SWT bukanlah sebuah perjuangan yang mudah.
Sebaliknya, itu merupakan perjuangan berat yang kemungkinan besar tidak akan mampu ditempuh oleh orang-orang atau bahkan nabi-nabi selain Muhammad.

Beliau harus berhadapan dengan orang-orang yang luar biasa liciknya, kejam, dan penguasa yang zalim. Diterpa berbagai hinaan, cacian, makian, fitnah, sumpah serapah, dan ejekan pun harus diterimanya.

Luar biasanya, semua itu Rasul lalui dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Seolah dia tidak merasakan beban dan perjuangan yang sangat berat itu.

Ikhlas dan sabar merupakan dua kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dijalankan. Maka, apabila keduanya dijalankan bersamaan, Allah pasti akan menggantinya dengan kebaikan yang jauh lebih baik dari apa yang kita inginkan.

Ikhlas menerima semua pemberian dari Allah dan bersabar bila semua pemberian dari-Nya diambil kembali. Karena, sesungguhnya semua pemberian dari-Nya tidaklah kekal.

Marilah kita ikhlas dan sabar dalam segala keadaan, yakinlah bahwa janji Allah pasti benar. Percayalah, ikhlas dan sabar akan membuahkan kebahagian hidup. Wallahu a’lam.
(Oktavia)

Rajin Sedekah, Rezeki Melimpah

Keuntungan sedekah tidak dapat dihitung dengan rumus matematika konvensional. Yusuf Mansur memopulerkan istilah matematika sedekah. Mengacu kepada ajaran Islam bahwa sedekah satu akan dilipatkan menjadi sepuluh, Yusuf Mansur kemudian membuat rumus demikian: sepuluh ribu dikurangi seribu untuk sedekah, hasilnya adalah sembilan belas ribu. Jika dikurangi dua ribu untuk sedekah, hasilnya menjadi dua puluh delapan ribu.

Itulah rumus matematika sedekah, yang merupakan perasan dari sejumlah keterangan dalam Alquran dan hadis. Allah sendiri berulang kali menegaskan bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta. Dalam pandangan awam, harta memang berkurang ketika dipakai untuk sedekah. Tetapi, dalam kaca mata iman tidaklah demikian.

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri, dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kamu sedikit pun tidak akan dirugikan.” [QS Al-Baqarah/2: 272].

Perhatikan, ayat di atas menggarisbawahi “harta yang baik” dan “di jalan Allah”. Karena, sangat boleh jadi orang melakukan sedekah tetapi dengan harta yang tidak baik. Misalnya, membangun masjid dari praktik korupsi, mendirikan pesantren dari hasil pelacuran, membantu panti asuhan dari bisnis narkoba, dan seterusnya. Tidak sedikit pula orang yang mengeluarkan uang dalam jumlah besar hanya untuk menyukseskan perbuatan atau kegiatan yang tidak baik. Lihatlah para konglomerat yang rela merogoh kocek miliaran rupiah untuk menyelenggarakan pagelaran Miss World, kandidat pemimpin yang mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli suara, tersangka hukum yang memberikan gratifikasi triliunan rupiah untuk menyuap hakim, dan seterusnya.

Harta tidak baik yang digunakan di jalan Allah dan harta baik yang digunakan di jalan setan, keduanya tidak bernilai sedekah di mata Allah. Sedekah harus memenuhi dua kriteria, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas, yaitu harta baik yang disalurkan di jalan Allah. Itulah harta yang tidak sia-sia, karena Allah akan memberikan ganti secara berlipat ganda.

Janji Allah tidak pernah dusta. Kewajiban orang beriman adalah meyakininya dengan segenap hati. Rasulullah sendiri pernah menginformasikan, “Tiada sehari pun sekalian hamba memasuki suatu pagi, kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya’. Sementara yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya’.” [HR Bukhari dan Muslim].

Mengelola harta memang bukan perkara mudah. Harta kerap mendatangkan keberuntungan, tetapi, jika salah menggunakan, harta justru menghasilkan kebuntungan. Karena itu, Islam memberikan panduan lengkap seputar cara mengelola harta agar kepemilikan harta berujung keberuntungan, bukan kebuntungan. Salah satunya adalah lewat ajaran sedekah. Harta yang disedekahkan, itulah harta yang sebenarnya, karena akan kekal sampai di alam baka. Yang berada di tangan tidak lain akan menjadi hak ahli waris.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah bertanya, “Siapakah di antara kamu yang lebih menyukai harta ahli warisnya daripada hartanya sendiri?” Serentak para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, tiada seorang pun dari kami, melainkan hartanya adalah lebih dicintainya.” Beliau kemudian bersabda, “Sungguh harta sendiri ialah apa yang telah terdahulu digunakannya, sedangkan harta ahli warisnya adalah segala yang ditinggalkannya (setelah dia mati).” [HR Bukhari dan Muslim].

Hadis di atas, dengan demikian, secara tidak langsung mengingatkan bahwa harta yang ada di tangan kita sebenarnya hanya titipan Allah. Supaya manfaatnya masih dapat dirasakan sampai kita kembali ke akhirat, maka harta itu harus dinafkahkan di jalan kebaikan semasih hidup di dunia. Lebih membahagiakan, balasan Allah bahkan sering tidak harus menunggu di akhirat, tetapi langsung Dia tunaikan ketika kita masih hidup di dunia berupa rezeki yang melimpah.

Rezeki adalah segala pemberian Allah untuk memelihara kehidupan. Dalam hidup, ada dua jenis rezeki yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu Rezeki Kasbi (bersifat usaha) dan Rezeki Wahbi (hadiah). Rezeki Kasbi diperoleh lewat usaha dan kerja. Tetapi Rezeki Wahbi datangnya di luar prediksi manusia, kadang malah tidak memerlukan jerih payah. Karena Rezeki Wahbi merupakan wujud sifat rahim Allah, maka orang yang gemar melakukan sedekah sangat berpeluang mendapatkan rezeki jenis terakhir ini. Indah Allah melukiskan dalam Alquran.

“Permisalan (nafkah yang dikeluarkan) orang-orang yang menafkahkan harta di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah/2: 261].

Sangat banyak ayat Alquran dan hadis Rasulullah yang mengungkap keuntungan sedekah. Setiap kita berpeluang mendapatkan keuntungan itu sepanjang gemar melakukan sedekah disertai keyakinan mantap terhadap kemurahan Allah. Tidak ada ceritanya kemiskinan karena sedekah. Tidak pula orang membuka pintu permintaan, melainkan Allah membuka untuknya pintu kemiskinan.

Sebab itu, jangan lagi berusaha menotal keuntungan sedekah dengan rumus matematika seperti umumnya kita menotal hasil keuntungan perdagangan atau penjualan barang-barang kita. 
(M Husnaini )

Menebus Siksa

Muhammad bin al-Munkadir (130 H) menangis panjang hingga keluarganya khawatir. Mereka bertanya, “Apa yang menyebabkanmu menangis?” Ia tidak menjawab dan tetap menangis. Kemudian, keluarganya mengirim utusan kepada Abu Hazim (135 H) untuk menanyakannya.

Abu Hazim datang dan mendapati al-Munkadir sedang menangis. Abu Hazim bertanya kepadanya, “Wahai saudaraku, apa yang menyebabkanmu menangis? Sungguh, engkau telah membuat keluargamu khawatir?”

Muhamamd bin al-Munkadir menjawab, “Sesungguhnya aku telah merenungi sebuah ayat dari Alquran.” Abu Hazim bertanya lagi, “Ayat apakah itu?”
Ia menjawab, “Firman Allah Azza wa Jalla, ‘Dan sekiranya orang-orang yang zalim mempunyai apa yang ada di bumi semuanya dan (ada pula) sebanyak itu besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari siksa yang buruk pada hari kiamat. Dan, tampaklah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.’” (QS az-Zumar: 47).

Abu Hazim menangis juga dan tangisan mereka berdua semakin keras. Keluarga Ibnu al-Munkadir berkata kepada Abu Hazim, “Kami membawamu agar menghentikan tangisannya, tetapi engkau justru malah menambahnya menangis.” Abu Hazim menceritakan kepada mereka apa yang menyebabkan beliau berdua menangis.

Kisah di atas merupakan petikan khotbah Jumat yang disampaikan oleh Syekh Syakir al-Hudzaifi di sebuah masjid di Jeddah, Arab Saudi. Semoga Allah melembutkan hati kami yang keras dan gersang agar dapat menangis saat membaca Alquran dan mengamalkannya.

Setelah saya kembali ke kantor Jeddah Dakwah Center, saya membaca tulisan ahli ilmu tentang ayat di atas. Berikut ini intisarinya. Menyekutukan Allah merupakan kezaliman yang sangat besar.

Ketika seseorang menganggap ada kekuatan lain yang lebih kuat dari Allah, ia akan tunduk dan menjadi budaknya. Ia jatuh ke dalam kesyirikan karena ia taat dan menganggap kekuatan lain itulah yang dapat memberinya manfaat dan menghindarkannya dari segala kerugian.

Ketika Anda menzalimi pihak lain, hakikatnya Anda telah menzalimi diri sendiri. Orang zalim bukanlah orang yang cerdas karena dia lupa bahwa orang yang dizalimi memiliki Allah yang akan membalas, cepat atau lambat, di dunia sebelum di akhirat.

Manusia siap menebus dan membayar ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah agar ia dapat sembuh dari penyakit ginjal, jantung, kanker, dan lainnya.

Di akhirat, manusia ingin menebus dengan dua kali lipat dari semua kekayaan yang ada di dunia agar ia terhindar dari siksa neraka! Ini menunjukkan siksa yang sangat pedih di mana manusia tidak tahan menerimanya. Semoga Allah melindungi kita dari siksa neraka.

Dr Muhammad Ratib an-Nabulsi berkata, “Seorang meyakini suatu ideologi atau keyakinan yang ia bela dan perjuangkan selama 50 tahun, misalnya, kemudian suatu saat ia menyadari bahwa itu ideologi batil, jiwanya akan terguncang. Orang-orang yang zalim akan terguncang pada hari kiamat.”

Ya Allah, jadikan kami sebagai orang-orang yang takut kepada-Mu. Imam Mujahid (101 H) berujar, “Mereka melakukan amalan yang mereka anggap baik, ternyata amal buruk.”

Imam Assuddi (127 H) berkata, “Mereka melakukan amal buruk dan berharap bertobat, kemudian kematian datang terlebih dahulu sebelum bertobat.
Atau, mereka menganggap Allah akan mengampuninya meskipun tidak bertobat dengan amal saleh yang akan menghapus dosanya atau dengan syafaat, ternyata Allah tidak ampuni dosa mereka.” Wallahu a’lam.
(Fariq Gasim Anuz)

Orang Terakhir yang Masuk Surga

Surga nanti adalah tempat kembali yang menyenangkan, diberikan kepada hamba yang beriman, serta tempat berkumpul orang-orang yang banyak beramal saleh. Keluarga juga akan ber-reuni di surga.

“(Yaitu) Surga ‘Adn mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang saleh dari bapak ibu dan nenek moyangnya, suami-istrinya, serta anak cucu dan keturunannya. Dan para Malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.  (Sambil mengucapkan), “Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu”.  Maka alangkah nikmatnya tempat kesudahan itu. (QS AR Ra’du 23-24.)

Sementara itu neraka adalah tempat yang buruk.  “Dan orang-orang yang melanggar janji kepada Allah setelah diikrarkan, dan memutuskan apa yang diprerintahkan Allah untuk disambungkan, dan berbuat kerusakan di muka bumi, mereka memperoleh kutukan  dan tempat kediaman yang buruk (Neraka Jahannam)” (QS Ar Ra’du 25).

Seorang ahli zuhud kenamaan Ibnu as Sammak mengunjungi saudaranya yang ingin meminta nasihat kepadanya. “Wahai Ibnu as Sammak, kedudukan nasihat bagi telinga ibarat tabib bagi orang sakit, maka siramilah aku sedikit saja dengan nasehatmu”. 

Dengan suara datar Ibnu as Saammak kemudian berkata, “Tidakkah engkau khawatir jika kesalahan-kesalahanmu tidak akan dihapus dan dosa-dosamu tidak diampuni ? Lalu di hadapanmu ada kegelapan, kengerian, dan kepedihan. Yang pertama kegelapan alam kubur, kemudian kedahsyatan alam mahsyar, kemudian kegetiran alam penantian, kemudian ketegangan alam titian dan timbangan amal, kemudian putuslah harapan, kemudian Yang Maha Raja dan Yang Mahatinggi memberi ketetapan !”

Orang itu bertanya, “Kemudian apa setelah itu ?”

Ibnu as Sammak meneruskan, “Memikul beban amal sendiri dan masuk neraka. Yang lebih menyiksa dari itu adalah celaan dan kutukan Dzat Yang Maha Raja, Yang Mahatinggi!” 


Dalam riwayat diterangkan bahwa di samping tentang keabadian neraka juga ada proses pembersihan yang kemudian membawanya ia ke dalam surga. Allah Yang Maha Penyayang menunjukkan kemurahan kepada hamba-hamba-Nya yang meski berdosa namun tetap  diberi rahmat pada akhirnya.

Dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a katanya,  “Bersabda Rosulullah SAW : Saya mengetahui orang yang terakhir keluar dari neraka dan terakhir pula masuk surga, yaitu seorang laki-laki yang keluar dari api neraka sambil merangkak.

Berkata Allah Ta’ala kepadanya: “ Pergilah engkau masuk surga !”

Orang itu pun segera berjalan. Sesampai  di sana dilihatnya seolah-olah surga telah penuh sesak. Orang itu lalu kembali dan berkata : “Ya Allah ! hamba dapati surga itu telah penuh.”

Berkata Allah Ta’ala kepadanya, “Pergilah masuk !“  Orang itu kembali lagi dan dilihatnya masih dalam keadaan penuh, karena itu ia kembali pula menghadap Allah mencerirakan keadaannya seperti semula.

Demikianlah orang itu pulang pergi berkali-kali antara surga dan hadirat Allah Ta’ala. Akhirnya Allah berkata kepadanya : “Masuklah engkau ke dalam surga ini. Untukmu seluas dunia dan ditambah sepuluh kali seluas dunia !”

Maka berkata orang itu , “Apakah Tuhanku mengejek hamba, padahal Tuhanku adalah Raja ?”

Kata Abdullah, “Saya lihat Rasulullah SAW tertawa sehingga tampak gerahamnya seraya berkata,“Orang itulah yang dikatakan penghuni surga yang terendah derajatnya”. (HR Muslim).

Dalam Hadis Muslim yang lain dari Abu Dzar ra katanya, ”Bersabda Rasulullah SAW : saya mengetahui orang yang terakhir keluar dari api neraka dan terakhir pula masuk surga yaitu seorang laki-laki yang dibawa di hari kiamat lalu dikatakan dihadapannya : ”Perlihatkanlah kepadanya dosa-dosa yang ringan  dan dikatakan kepadanya ‘Pada hari anu dan hari-hari anu engkau telah berbuat ini berbuat itu’ Jawab orang itu ‘Benar !”

Dan tidaklah ia dapat mangkir, sedangkan dia khawatir akan diperlihatkan dosa-dosa yang berat berat. Maka dikatakan kepadanya :”Perbuatanmu yang buruk telah diganti dengan kebajikan”.

Maka berkatalah orang itu, “Ya Allah! hamba telah berbuat ini dan itu yang belum diperlihatkan!” Kata Abu Dzar, “Kulihat Rasulullah SAW tertawa sehingga tampak gerahamnya”. 
Orang terakhir yang masuk surga adalah orang terselamatkan bukan karena amalnya, tapi karena anugerah Allah.  Happy ending  mewarnai akhir episode  dari dinamika kehidupan manusia yang berdosa, bodoh, lugu, dan banyak membantah. 

Tersirami oleh air kesejukkan Allah yang Maha Pemurah. Rasulullah SAW pun tertawa hingga tampak gerahamnya. Gembira melihat umatnya selamat. 
(HM Rizal Fadillah)

Rabu, 06 November 2013

Indahnya Berbagi

Pada suatu hari, Ibnu Mubarak pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sesampainya di Makkah, ia pun langsung menuju Ka’bah untuk bertawaf. Kemudian, ia istirahat di Hijir Ismail untuk sekadar melepaskan lelahnya sehingga tertidur di tempat itu.

Dalam tidurnya, Ibnu Mubarak bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. Beliau berkata kepadanya, “Jika engkau telah kembali ke Baghdad, carilah Bahram dan sampaikan salamku kepadanya. Dan katakan bahwa Allah SWT telah rela kepadanya.”

Ibnu Mubarak pun terbangun kaget dan mengucapkan, “Laa haulaa wa laa quwwata illaa billaah.” Dalam hatinya, ia berkata, “Ini mimpi dari setan.”

Kemudian, ia mengambil air wudhu dan kembali bertawaf keliling Ka’bah sampai berulang kali. Karena kelelahan, Ibnu Mubarak kembali tertidur dan kembali bermimpi dengan mimpi yang serupa sampai tiga kali.

Dalam hatinya ia berontak, “Tidak mungkin sosok pendeta seperti Bahram mendapat salam dari Rasulullah SAW serta ridha dari Allah SWT.” Tapi, mimpi itu dirasa sangat nyata oleh Ibnu Mubarak. Karena setan tidak mungkin dapat menjelma menjadi Rasulullah SAW.

Setelah syarat dan rukun haji sudah selesai dan sempurna, Ibnu Mubarak pun buru-buru pulang ke Baghdad dan ingin secepatnya mendatangi daerah yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam mimpinya.

Sampai pada tempat yang dituju, Ibnu Mubarak berjumpa dengan orang yang sudah lanjut usia, dan bertanya, “Apakah Anda yang bernama pendeta Bahram beragama Majusi?” “Oh ya, saya sendiri,” sahut Bahram.

Kemudian, Ibnu Mubarak langsung bertanya “Bahram, apakah Anda punya amalan yang dianggap baik di sisi Allah?”
Lalu, ia menjawab, “Punya. Aku mempunyai empat anak perempuan dan empat anak laki-laki. Aku kawinkan anak perempuanku dengan anak laki-lakiku.

Ini haram hukumnya,” timpal Ibnu Mubarak. “Selain itu, ada tidak?” “Ada, aku membuat pesta pernikahan besar-besaran dalam pernikahan anak-anakku itu,” jawab Bahram “Ini juga haram dan dilarang oleh agama Islam. Selain itu, ada tidak?” tanya Ibnu Mubarak penasaran.

Oh ada. Aku punya anak perempuan yang sangat cantik. Kucarikan pasangan yang sekufu (setara) dengannya. Ternyata, aku tidak mendapatkan. Akhirnya aku kawini saja anakku itu. Dan, aku membuat resepsi yang lebih besar, ribuan orang datang dalam pestaku itu,” kata Bahram. “Ini juga haram,” ujar Ibnu Mubarak tegas. “Ada tidak selain itu?

Ada. Pada malam pengantin itu, ketika aku hendak berhubungan dengan istriku yang merupakan anakku. Tiba-tiba datanglah seorang perempuan Muslim ke rumahku, ia menyalakan obor dari pelitaku yang ada di depan rumah. Setelah obornya nyala, ia pergi dan aku pun keluar dan memadamkan obor tersebut. Kemudian, ia kembali untuk menyalakan lagi sampai tiga kali. Dan hatiku berbicara, jangan-jangan perempuan itu mata-mata pencuri. Akhirnya, aku keluar membuntutinya dari belakang.

Ketika si perempuan itu masuk ke rumahnya disambut oleh suara anak-anaknya. ‘Ibu bawa apa? Perut kami sudah perih dan keroncongan.” Perempuan itu menangis sambil berkata, ‘Aku malu kepada Allah SWT kalau aku meminta kepada selain-Nya. Apalagi kepada orang Majusi yang nyata-nyata tidak seagama,” cerita Bahram.

Setelah aku mendengar perkataannya, aku langsung pulang dan mengambil satu nampan yang berisi aneka makanan. Lalu, aku pergi menuju rumah perempuan Muslim itu,” kata Bahram.

Ibnu Mubarak berkata, “Ternyata, inilah kebaikan kamu.” Kemudian, ia menyampaikan pesan dan salam Rasullah SAW kepadanya dan menceritakan perihal mimpinya ketika berada di Hijir Ismail.

Setelah mendengar cerita Ibnu Mubarak, Bahram langsung mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian syok, dan mengembuskan napas terakhir. Ibnu Mubarak pun turut serta dalam upacara kematian sampai Bahram dimakamkan.
(Ahmad Rosyidi)

Saat Kita Sujud

Ada orang yang beranggapan ibadah adalah urusan orang tua, bahkan ada yang melakukan shalat pun dengan cepat sekali, sehingga mengabaikan bacaan-bacaan shalat yang seharusnya dibaca dengan baik termasuk ketika bersujud.

Seakan-akan tidak membaca do’a sedikitpun ketika bersujud. Padahal saat itulah kita merasa kecil di hadapan Allah SWT, Yang Maha Besar.

Pada saat sujud kita meletakkan anggota tubuh kita di tempat yang sangat rendah, kita menanggalkan semua atribut keduniaan dan kita meletakkan semua gelar kehormatan. Semuanya kecil di hadapan Allah SWT.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam muslim, Rasulullah SAW bersabda : “Kalian harus memperbanyak sujud kepada Allah SWT, karena ketika kalian bersujud , Allah akan angkat derajat kalian, dan Allah akan hapus  dosa kalian.”

Ada dua hal penting yang patut kita garis bawahi dari hadis di atas. Perintah sujud yang disampaikan  Rasulullah SAW memberikan dua manfaat yang sangat berguna bagi kehidupan kita.

Pertama, dengan banyak bersujud, Allah SWT akan angkat derajat kita. Derajat yang akan Allah berikan kepada kita bisa berupa derajat di dunia maupun di akhirat,

Derajat di dunia bisa berupa kehidupan yang sakinah, jabatan, mendapatkan jodoh yang ideal, keinginan-keinginan lain yang dikabulkan, atau juga bisa berupa kedudukan yang tinggi. Semuanya itu merupakan dampak positif dari banyak bersujud kepada Allah SWT.

Sedangkat derajat di akhirat hanyalah Allah SWT yang maha mengetahui. Tak seorangpun yang mengetahui akan hal itu, karena itu menjadi rahasia Allah SWT semata.

Kedua, dengan bersujud Allah SWT akan menghapus dosa kita. Sebagai manusia tentu banyak perbuatan dosa yang kita lakukan, disengaja atau tidak. Dosa tersebut tidak kita ketahui jumlahnya, kecuali nanti di yaumil hisab (Hari Perhitungan).

Anjuran Rasulullah SAW untuk banyak bersujud agar dosa-dosa kita satu persatu dihapus Allah SWT. Semakin banyak bersujud kepada Allah SWT, semakin banyak pula dosa yang dihapus. Semakin banyak kita melaksanakan shalat, akan semakin banyak sujud yang kita lakukan.

Dalam satu raka’at shalat kita bersujud sebanyak dua kali. Maka, dalam 17 raka’at sehari semalam berarti kita sudah bersujud sebanyak 34 kali. Bagaimana dengan shalat sunat lainnya yang kita lakukan?

Bila kita shalat sunnah qabliyyah dan ba’diyyah yang kita laksanakan di awal dan akhir shalat fardhu sebanyak  16 raka’at, berarti kita sujud sebanyak 32 kali.

Bila jumlah bilangan rakaat shalat fardlu dan shalat sunnah dijumlahkan, berarti sehari semalam kita melakukan sujud kepada Allah SWT sebanyak 66 kali. Itu berarti Allah SWT akan menghapus 66 dosa kita sehari semalam.

Padahal dosa yang kita perbuat sehari semalam, lebih dari 66. Dengan bersujud sebanyak 66 kali sehari semalam, masih belum mampu menghapus dosa-dosa kita yang banyak sekali.

Perbanyaklah sujud kepada Allah SWT, tanpa perlu menghitung-hitungnya. Bersujudlah sebanyak-banyaknya setiap ada kesempatan. Karena memang Allah SWT menciptakan kita tak lain untuk beribadah kepada-Nya.
(Ustaz Ahmad Dzaki, MA)