![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBep_-ZPP6BjbOP0dIkjSOrCcZBEBBQnJ8WWRgb1sBJTRWeIsXYh_dxAG0KCW4bS-NaF2hD_AnuGZ7CC2ah1RddxcF22AEerZ1Sc1hlYQIaSGjm7R9gk4LE2NAPby5KvXjb2w0AgNv7l4/s1600/GOR+KH+Hasbullah+Said+Tambak+Beras+Jombang+Gus+Dimas+Cokro+Pamungkas+Pagar+Nusa+Gudo+Jombang.jpg)
Ibnu Mas’ud meriwayatkan, “Aku datang menemui Nabi SAW yang
sedang demam hebat saat itu. Aku berkata, “Ya Rasulullah, engkau terkena
demam luar biasa keras?” Beliau menjawab, “Ya, demamku setara dengan demam dua orang.”
Aku bertanya, “Apakah karena engkau mendapatkan dua pahala?” Beliau menjawab, “Benar,
karena itu. Dan, tidaklah seorang muslim terkena hal yang menyakitkan –
duri atau yang lain – kecuali Allah ampuni kesalahan-kesalahannya.
Dosa-dosanya dihapus seperti pohon yang merontokkan daun-daunnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Musibah
demi musibah atau bencana demi bencana tampaknya datang silih berganti
menguji keimanan kita. Gunung meletus, banjir biasa, banjir bandang,
longsor, gempa bumi, jalan raya terputus akibat gerusan banjir dan
tertimbun tanah longsor, dan sebagainya hampir merata terjadi di pelosok
negeri.
Ujian kehidupan ini sesungguhnya merupakan peringatan
yang semestinya menjadi pelajaran bagi kita semua. Ujian kehidupan
seperti rasa takut, krisis harta, krisis jiwa (stress, depresi), krisis
sandang, pangan, dan seterusnya merupakan sebuah keniscayaan yang
pasti dialami setiap manusia.
“Dan Kami pasti akan menguji
kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan
buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang
sabar.” (QS. al-Baqarah/2: 155)
Melalui ujian dan musibah,
Allah SWT akan menilai dan mengelompokkan siapa di antara umat manusia
ini yang benar-benar memiliki etos amal (spirit dan kinerja perjuangan
yang pantang menyerah) dengan yang bersantai-santai.
“Dan
sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui
orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan
akan Kami uji perihal kamu.” (QS. Muhammad/47: 31)
Ujian
dan musibah sesungguhnya bagian dari proses pembelajaran yang diberikan
Allah SWT kepada manusia agar mau mengambil pelajaran, mendayagunakan
kemampuan nalar, dan kebersamaannya dalam mengatasi musibah.
Apakah
musibah itu merupakan kehendak dan ketentuan Allah atau karena ulah
salah tangan-tangan jahil dan jahat manusia? Semua musibah yang terjadi
dan menimpa manusia itu pada dasarnya sudah diketahui (menjadi
pengetahuan Allah) sejak azali dan sudah ditulis dalam Lauh Mahfuzh.
Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. al-Hadid/57: 22)
Namun
demikian, perbuatan manusia yang serakah, melampaui batas, berlaku
eksploitatif, tidak harmoni dan cenderung merusak ekosistem alam
merupakan salah satu penyabab musibah.
“Dan musibah apa pun
yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. asy-Syura/42: 30).
Musibah
dan kerusakan alam seperti yang terjadi saat ini merupakan dampak
(akibat) dari sikap dan perlakuan manusia yang salah terhadap alam.
“Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum/30: 41)
Meskipun
sebagian besar musibah itu disebabkan oleh perbuatan manusia, namun
proses terjadinya tetap tidak dapat dilepaskan dari izin Allah sebagai pengatur/pengelola alam raya ini.
“Tidak
ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin
Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi
petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. at-Taghabun/64: 11)
Sebagai ujian kehidupan, musibah yang menimpa kita harus disikapi dengan, pertama,
introspeksi diri (muhasabah), karena boleh jadi musibah itu disebabkan
oleh kesalahan kita sendiri atau kesalahan sebagian orang yang kemudian
menimpa banyak orang.
Kedua, menjadikan musibah
sebagai pelajaran berharga dan peringatan Allah yang Maha Kasih Sayang
kepada umat-Nya untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama, sekaligus
bertaubat dan beristighfar kepada Allah SWT.
Ketiga, menyadari dan memulangkan segala persoalan dengan penuh tawakkal kepada Allah, seraya mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Keempat,
bersabar dan tabah dalam menghadapi musibah dengan penuh ketenangan
jiwa, dan tidak menyalahkan pihak lain, apalagi berburuk sangka kepada
Allah SWT.
Kelima, kita harus terus belajar dan
mendalami ayat-ayat Allah yang ada di alam raya ini dengan taskhir
(menundukkan dan mengungkap hukum kausalitas yang ada di alam raya).
Pada dasarnya apa yang terjadi alam raya ini berlaku hukum kausalitas
(sebab-akibat). Banjir merupakan akibat dari adanya hujan, dan
sebagainya.
Keenam, meneguhkan kebersamaan dan solidaritas
sosial. Hikmah dari musibah yang kita alami saat ini setidak-tidaknya
dapat menumbuhkan kesadaran kolektif akan penting merajut tali persatuan
dan solidaritas sosial.
Dengan sikap peduli dan rela berbagi, para korban bencana dapat dihibur dan diringankan beban penderitaannya.
Ketujuh,
berpikir positif, antisipatif, dan prediktif dengan berusaha
menghindar atau menjauh dari musibah, bahkan meminimalisir dampaknya
semaksimal mungkin.
Kasus ini dapat dipetik dari kebijakan Umar bin al-Khattab yang mengurungkan niatnya untuk pergi ke Syam.
Ia diprotes oleh sebagian sahabat. “Apakah engkau lari dari takdir
Allah?” Umar menjawab: “saya lari dari satu takdir Allah menuju takdir
yang lain. Umar mengurungkan niatnya ke Syam (Suriah) karena di sana
saat itu terjadi wabah penyakit menular.
Dengan berpikir
positif, musibah itu seharusnya semakin meningkatkan kualitas iman,
ilmu, dan amal kita bahwa musibah itu merupakan salah satu cara Allah
SWT menghapuskan kesalahan dan dosa-dosa kita.