Suatu ketika Nabi Muhammad SAW melewati kerumunan
orang yang sedang bergurau sambil tertawa terbahak-
bahak, lalu Rasulullah mengingatkan mereka: “Mengapa
kalian tertawa terbahak-bahak, sedangkan api neraka
mengintai di belakang kalian? Demi Allah aku tidak
senang melihat kalian tertawa seperti itu."
Dalam hadis lain dikisahkan, Nabi menghampiri
sekelompok orang tengah bercanda sambil tertawa
terbahak-bahak seraya mengucapkan salam kepada
mereka. Setelah mereka menjawab salam, Nabi
mengingatkan: “Ingatlah, demi Zat yang jiwaku berada
dalam genggaman-Nya, seandainya kalian mengetahui
sebagaimana apa yang aku ketahui, maka kalian akan
sedikit tertawa dan lebih banyak menangis.”
Seketika itu mereka diam. Nabi berpamitan meninggalkan
mereka, lalu para sahabat itu tenggelam dalam tafakur
sambil merenungi teguran Nabi. Dalam hadis lain Nabi
bersabda, “Orang yang tertawa terbahak-bahak akan
dicabut berkah dari wajahnya.” Dalam satu qaul
disebutkan, “Bulan suci Ramadhan adalah bulan untuk
menangisi dosa-dosa masa lampau.”
Tertawa itu manusiawi, tetapi Nabi membedakan dua
macam tertawa. Ada tertawa dalam arti tersenyum (al-
basyasyah) dan tertawa terbahak-bahak (al-dhahhaq).
Tertawa pertama dianjurkan, bahkan dinyatakan dalam
hadis: Al-Basyasyath sunnah (Tersenyum itu sunat).
Dalam satu riwayat lain dikatakan, Al-basyasyah
shadaqah (Memberi senyum kepada orang itu sedekah).
Karena itu, kita dianjurkan untuk lebih banyak tersenyum
sebagai salah satu wujud silaturrahim kita kepada
sesama umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin,
etnis, dan agama.
Hal yang memprihatinkan kita ialah banyak sekali kita
disuguhkan pemandangan selama bulan Ramadhan
dengan tertawa terbahak-bahak. Bukan hanya pada waktu
siang, melainkan juga pada waktu malam yang
seharusnya kita banyak bermuhasabah dan
bermujahadah, mengingat kematian, mengingat dosa-
dosa, dan membayangkan neraka yang selalu mengintip
kita, malah digunakan untuk tertawa dan mabuk-mabukan
di depan kamera atau di depan televisi.
Lihatlah pada hampir semua program TV dipadati dengan
lawak dan banyolan sepanjang malam. Sejumlah program
TV dan radio seolah mengajak para pemirsa dan
pendengarnya untuk mabuk-mabukan. Hal ini pasti tidak
sejalan, bahkan bertentangan dengan harapan Rasulullah
SAW.
Saat-saat menjelang sahur seharusnya kita semakin
syahdu mencari berkah tengah malam. Kalau perlu,
tersungkur menangisi dosa dan kegelapan masa lampau
kita mumpung masih bulan suci Ramadhan. Kita
memohon pengampunan terhadap “kegilaan” masa
lampau yang pernah kita lakukan. Bukannya kita
menyerupai orang mabuk di tengah keheningan malam
Ramadhan.
Semua pihak seharusnya merenung dan memikirkan hal
ini. Terutama kepada para pemilik TV, sponsor,
sutradara, pemain, dan semua pihak yang
mendukungnya, termasuk para pemirsa yang ikut mabuk
di depan TV mereka masing-masing.
Mengapa mereka berani menjual “kegilaan” di keheningan
malam Ramadhan. Itu bisa diartikan sebagai pelecehan
malam kemuliaan Ramadhan (lailatul qadar). Jangan-
jangan ini lebih besar dampak negatifnya daripada
rumah-rumah hiburan malam yang dikunjungi segelintir
orang.
Apakah ada berkah uang dan rezeki yang diperoleh
melalui pelanggaran etika spiritual seperti itu? Hal yang
memabukkan (al-muskir) bukan hanya secara harfiah
berarti zat yang memabukkan, seperti minuman keras
ataupun narkoba, melainkan keadaan tertentu yang
diciptakan menyebabkan kita mabuk kesetanan dan lupa
terhadap Tuhan. Itu juga bisa disebut al-muskir. Ingat
hadis Nabi: Kulu muskirun haramun (Segala sesuatu yang
memabukkan itu haram.”
Ingat hadis lain: “Setiap darah-daging yang tumbuh di
dalam diri berasal dari yang haram hanya akan bisa
dibersihkan dengan api neraka.” Na’udzubillah.
Dalam keheningan malam, Alquran mengimbau kita untuk
merenung, kalau perlu disertai air mata, seperti dalam
firman-Nya: "Dan mereka menyungkur atas muka mereka
sambil menangis." (QS al-Isra [17]: 109). "Mereka
menyungkur dengan bersujud dan menangis." (QS
Maryam [19]: 58).
(Prof Nasaruddin Umar)